Mengisi Ruang Kosong Di Rumah Bupati Kebumen - Bagian I

Dalam situs resmi Pemerintah Kabupaten Kebumen terdapat Ruang Diseminasi yang selama ini dibiarkan kosong. Ruang-ruang itu adalah 15 Sub Sektor dalam Ekonomi Kreatif,

KONSISTENSI KI ESSER KARTON

Slamet Riyanto yang biasa dipanggil Esser adalah satu seniman multi talenta yang konsisten memelihara sikap berkesenian melalui beragam karya kreatif. Satu diantaranya adalah wayang yang semua tokohnya dibuat dari kardus bekas kemasan dan limbah lainnya.

MENGINTIP RUANG KOSONG DI RUMAH BUPATI BAG..

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di sini.

MENGISI RUANG KOSONG DI RUMAH BUPATI KEBUMEN - BAGIAN III

OVOP Kerajinan Pandan adalah satu sub tema yang jadi Pemenang dalam lomba karya tulis ilmiah Riset Unggulan Daerah (RUD) tahun 2013. Sampai saat ini implementasi hasilnya belum jelas. Akankah nasibnya seperti Hipando yang terbengkelai ?

Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Februari 2014

Ketika Jakarta Ingin Seperti Harajuku


Harajuku adalah satu pusat busana jalanan yang kini telah terkenal di seluruh penjuru jagad raya ini. Di lokasi ini ada beragam butik, mal-mal yang memajang beragam busana serta semua hal yang berkait dengan dunia busana. Harajuku adalah sebuah kampung kecil yang berubah menjadi pusat busana dan budaya kaum muda pasca Perang Dunia II. Adanya barak militer tentara Amerika Serikat di Bukit Washington membawa dampak yang cukup besar bagi kaum muda setempat dalam berbudaya Barat. Apalagi setelah penyelenggaraan Olimpiade 1964 yang menjadikan Harajuku sebagai lokasi perkampungan atlet, proses asimilasi budaya semakin kuat. Sejak berdirinya mal khusus busana pada 1978, Harajuku seolah memantapkan posisinya sebagai pusat bisnis busana dunia dengan konsep jalanan-nya.





Indonesia Fashion Week (Pekan Busana Indonesia) yang akan diselenggarakan di jakarta Convention Center 20 – 23 Pebruari 2014 adalah sebuah ajang kreatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Sebagai motor penggerak adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang didukung oleh tiga kementerian terkait yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM serta Kementerian Perindustrian yang mengusung tema besar Green and Local Movement. Tema yang intinya mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mencintai produk-produk lokal (buatan dalam negeri) dan yang ramah lingkungan.

Indonesia Fashion Week  mengajak warga Jakarta untuk ramai-ramai memamerkan gaya lokal terbaiknya pada tanggal 16 Februari 2014 lalu melalui event Sunday Dress Up. Aksi yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini telah berlangsung pada saat Car Free Day di bundaran HI hingga area Monas. Ratusan partisipan dari berbagai komunitas umum melebur bersama desainer, model, pelaku media hingga murid sekolah mode. Mereka memakai busana bernuansa konten lokal dan melakukan "demo" dengan membawa slogan-slogan seputar local movement.





Dengan Local MovementLocal Movement, Indonesia Fashion Week akan semakin memperkuat rasa cinta dan bangga pada negeri sendiri beserta produknya. Berbagai rangkaian pra-event yang seru dan penuh energi segar seperti Sunday Dress Up ini diharapkan dapat memperkenalkan "gaya Indonesia" kepada dunia. Sudah saatnya kita bangga memakai produk yang menunjukan identitas diri kita. Indonesia yang kaya akan material, detail hingga styling, punya ciri fashion tersendiri yang berbeda dibandingkan dengan ciri fashion yang sudah ada di dunia.

Mungkin suatu hari nanti di Jakarta akan ada area khusus seperti di Harajuku-Jepang, dimana semua orang dapat "memamerkan" gaya lokalnya masing-masing. Lalu perlahan tapi pasti, warga dunia akan menoleh pada "gaya lokal" Indonesia. Dan kita pun dapat berkata dengan bangga,"Gaya ini adalah gaya lokal Indonesia!".  Mimpi itu dimulai dari sekarang, dan kita semua ikut andil dalam mewujudkannya!

Itulah obsesi Jakarta yang selama ini telah menjadi barometer kehidupan di tanah air. Selain merupakan ibukota negara dan pusat pemerintahan, Jakarta juga menjadi pusat beragam aktivitas bisnis. Di bidang busana, selain Tanah Abang yang telah menjadi pusat bisnis busana kelas menengah-bawah, banyak pusat busana yang ada di berbagai mal dan pusat belanja kelas menengah-atas yang tersebar di seantero Jakarta. Rumah-rumah mode dan toko-toko online yang menyediakan busana beragam keperluan dan harga terus bertumbuh. Belum lagi sejumlah konveksi, modiste dan tailor. Semua itu merupakan faktor pendukung yang sangat kuat bagi tumbuh dan berkembangnya bisnis busana.


Dengan pengakuan Unesco bagi batik tulis Indonesia sebagai warisan budaya dunia (world herritage) semakin menambah rasa percaya diri para perancang dan pebisnis busana untuk terus memantapkan diri dan industri kreatif ini ke posisi puncak. Pekan Busana Indonesia memang layak diapresiasi sebagai satu jalan utama untuk menggapai asa Jakarta setara dengan atau lebih tinggi dari Harajuku di Jepang. Diperluat dengan gerakan lokal dan ramah lingkungan (local and green movement) serta upaya serius menumbuh-kembangkan Sentra-Sentra Kreatif Rakyat di berbagai daerah tujuan wisata unggulan, bukan satu hal yang mustahil jika tak lama lagi ada Harajuku ala Jakarta. Tentunya dengan satu harapan besar lain, situasi politik dalam negeri cukup kondusif. Semoga.

Kamis, 11 April 2013

FIESTA de LUK ULO (Konsep Ringkas - Update)


Konsep  festival dipilih agar beberapa kegiatan dapat dicakup serentak. Ada wisata air seperti lomba pacu rakit berbahan batang pisang (gedebog) dan aneka permainan anak yang menjadi ciri khas permainan anak pereng Kali Luk Ulo. Lomba Mancing yang menjadi “gong” berpadu dengan Festival Kuliner dan lain-lain. Konsep festival membuka peluang beragam kegiatan dikemas dalam satu wadah “Luk Ulo Fiesta 20,,,”.

MAKSUD dan TUJUAN

Festival Kali Luk Ulo tahun 20.., dimaksudkan untuk :
  1. Memberikan hiburan murah dan aman bagi warga masyarakat Kabupaten Kebumen dan sekitarnya.
  2. Mengenalkan Kali (Sungai) Luk Ulo sebagai salah satu icon aktivitas kreatif  Kabupaten Kebumen.
  3. Pendidikan lingkungan bagi generasi muda.
  4. Pengembangan kegiatan wisata lingkungan.
  5. Perintisan dan pengembangan Ekonomi Kreatif di Kabupaten Kebumen.

Tujuan utama kegiatan ini adalah mengembangkan potensi kreatif para pemuda Kebumen dalam beragam  kegiatan produktif dan kewirausahaan yang ramah lingkungan.

KONSEP FESTIVAL

Festival adalah kegiatan yang menampilkan kemeriahan yang dapat diisi dengan beragam jenis kegiatan saling berkait. Festival Kali Luk Ulo 2012 adalah perpaduan antara kegiatan olahraga, hiburan, wisata, pendidikan lingkungan dan kewirausahaan. Ada 2 jenis kegiatan olahraga yang akan dilaksanakan yakni Lomba Mancing Ikan Bersisik dan outbond.
Hiburan akan diisi dengan lomba permainan anak tradisional seperti kunclungan, mengambang di air dengan sarung terlama dan lain-lain. Atau atraksi kesenian tradisional yang akan diselenggarakan di sekitar lapangan basket dan bekerjasama dengan Kelenteng Khong Hui Kiong. Kegiatan hiburan ini dapat juga dikembangkan dengan beragam festival, lomba atau penampilan kelompok-kelompok kesenian yang potensial dikembangkan sebagai aset ekonomi kreatif masyarakat Kabupaten Kebumen.
Sementara itu, pendidikan lingkungan dilaksanakan dengan cara memberikan pemahaman, bimbingan dan praktik di sepanjang lokasi festival yang direncanakan sepanjang 1 km. Mulai dari bawah Jembatan Kutosari (jembatan baru di Selatan Alun-alun kota) sampai Jembatan Renville (jembatan kereta api). Pendidikan lingkungan ini bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan dan mencerahkan pemahaman tentang pentingnya memelihara lingkungan alam Kali Luk Ulo di sepanjang jalur festival khususnya dan daerah alirah Sungai Luk Ulo pada umumnya.

Dalam kegiatan kewirausahaan, akan diselenggarakan festival kuliner berbahan dasar ikan bersisik yang hidup dan berkembang biak di Kali Luk Ulo yang mengikutsertakan para petani ikan yang banyak beraktivitas di sebelah Utara lokasi. Serta beberapa kegiatan lain yang menunjang tujuan pengembangan ekonomi kreatif warga masyarakat sekitar lokasi festival khususnya.

Jumat, 05 April 2013

Bandung Creative City Forum (BCCF)



Bandung kota kreatif bukan hanya slogan dan baru dirintis. Sejak dulu, Kota Kembang yang sering disebut juga sebagai Paris van Java telah menunjukkan beragam aktivitas kreatif warganya. Di era 1980-an, jauh waktu sebelum ekonomi/ idustri kreatif digagas, Bandung sudah punya Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) dengan alm. Harry Rusli sebagai motornya dari rumahnya di Jl. Supratman sebagai markas besar. Dari grup musik eksperimental ini muncul satu single hit berjudul Nyamuk Malaria. Sementara itu, di ujung jalan itu ada beragam jenis kuliner khas yang menjadikan daerah Supratman Ujung sebagai pusat jajanan khas Bandung. Musik, seni pertunjukan dan kuliner adalah pilar ekonomi kreatif yang tengah menjadi trend baru ekonomi di banyak Negara.

Bandung Ibukota Kreativitas?

Reputasi Bandung sebagai destinasi wisata, lokasi perguruan tinggi terkemuka, pusat mode dan busana, serta kota yang melahirkan beragam band/kelompok musik progresif, telah berdampak pada tumbuhnya industri kreatif yang didukung oleh ketersediaan beragam sumber daya. Bandung jadi Ibukota Kreatif?
APA sih yang kurang dari Kota Bandung sebagai kota kreatif? Rasanya semua persyaratan untuk menjadi kota kreatif sudah dimilki Bandung. Sebut saja, hampir seluruh profesi kreatif bisa ditemukan di Bandung, sejak profesi yang high profil seperti arsitektur, clothing dan distro, pembuat program komputer, animator, hingga pemBuat film dan musik. Belum lagi iklim yang mendukung, dengan banyaknya pagelaran dan hajatan kreatif yang digelar dan sepanjang tahun. Untuk yang terakhir ini, para pegiat kreatif  Bandung sudah dua kali menggelar hajatan Helarfest, tahun 2008 dan 2009. Tahun 2010, ada Semarak.bdg yang digelar di sekitar kawasan Braga. Belum lagi gelaran seperti Bandung World Jazz Festival, dan Pasar Seni ITB. 

Situs Departemen Perdagangan menginformasikan industri kreatif menyumbang rata-rata 6,3% terhadap produk domestik bruto Indonesia selama periode 2002-2006. Suatu jumlah yang tidak main-main karena pada 2010, target kontribusi meningkat menjadi 7,9%. Setelah kekayaan sumber daya alam tidak lagi dapat menjadi penopang perekonomian nasional, ditambah sulitnya produk sektor usaha berbasis sumber daya alam lainnya bersaing dengan negara lain karena kalah kompetitif, maka masa depan Indonesia mungkin hanya bisa diselamatkan melalui ekonomi kreatif yang berbasis kekuatan ‘human capital’ yang kreatif dan inovatif.


Lantas, dari angka kontribusi 7,9 % ini, seberapa besar yang disumbang Bandung? Meski tidak tersedia data yang cukup memadai, namun diyakini Bandung berkontribusi dominan. Terlebih, karena para pegiat di Bandung juga sudah memiliki kesadaran untuk beserikat dan berorganisasi dalam payung Bandung Creative City Forum atau BCCF.
Bandung Creative City Forum (BCCF) yang berdiri sejak tahun 2008, beranggotakan para pegiat kreatif dari beragam latar belakang profesi antara lain arsitek, desainer, pekerja seni, pekerja musik, akademisi, praktisi & pekerja TI, pelaku usaha pariwisata, dan jurnalis.  Seluruh kegiatan BCCF bersifat nirlaba dan diperuntukan sepenuhnya untuk pengembangan kota Bandung dalam bidang dan karya kreatif. BBCF juga merupakan mitra strategis Pemerintah Kota Bandung dalam membawa Bandung sebagai kota kreatif dengan kompetensi internasional di benua Asia.

Tujuan untuk menjadikan Bandung sebagai ibukota kreatini bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Semangat ini, tentu tak boleh hanya menjadi monopoli BCCF, juga harus juga dimiliki oleh para pemangku kepentingan yang lain, diantaranya Pemerintah kota, pelaku usaha, dan tentu saja masyarakat. Nah, pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan asa menjadikan Bandung sebagai ibukota kreatif? Darimana upaya ini harus dimulai? Pembuatan regulasi yang mendukung dan mempermudah terciptanya iklim dan kondisi kreatif bisa menjadi langkah awal. Upaya ini kemudian harus diikuti oleh penyediaan berbagai saran dan infrastruktur pendukung yang memungkinkin aktifitas dan kegiatan kreatif tumbuh subur. Langkah ketiga adalah dengan mengedukasi warga, agar senantiasa memiliki kerangka berfikir kreatif dalam setiap aktifitas keseharian. Kreatifitas harus dipahami sebagai sebuah communal behaviour serta tidak berumah di awan, yang hanya bisa dijalankan dan dipraktekan oleh para pegiat kreatif. Dengan cara ini Kreatifitas diharapkan menjadi kebiasan dalam praktek dan aktifitas masyarakat.

Agar kegiatan dan aktifitas kreatif berdampak pada aktifitas ekonomi, perlu juga dipikirkan kehadiran dan akses pasar, sehingga produk-produk kreatif memiliki nilai ekonomi yang sebanding dengan upaya penciptaannya. Dalam hal ini, promosi dan pemasaran memegang peranan penting. Selama ini, para pegiat kreatif berjibaku dan berinovasi secara mandiri dalam kegiatan promosi dan pemasaran produk mereka. Tak hanya memikirkan inovasi produk, para pegiat kretaif juga dituntut kreatif dalam memasarkannya. Tak hanya di pasar lokal juga di mancanegara. Bahkan tanpa dukungan pemerintah pun, beberapa karya dan inovasi kreatif para pelaku industri kreatif sudah mampu menembuh pasar global.
Jadi, tunggu apa lagi. Ayo kita wujudkan Bandung sebagai Ibu kota kreatif tak hanya untuk Indonesia, juga di kawasan Asia.


Itulah segmen yang dikupas dalam BCCF Magz (majalah yang diterbitkan oleh BCCF) edisi Agustus 2012 dalam tajuk Bandung Ibukota Kreativitas! Geliat aktivitas kreatif warga Bandung seolah tak pernah berhenti dan kehabisan ide. Apalagi setelah ditetapkan sebagai pilot proyek Kota Kreatif di Asia Timur tahun 2008, proses kreatif warga Bandung semakin bergairah dan menyebar di seluruh penjuru. Jika di awal pertumbuhannya, pusat jeans Bandung ada di sekitar Jl. Tamim, kini telah menyebar ke Cihampelas, Cigolewah dan sebagainya. Begitu juga di sub sektor industri musik, lahir grup-grup baru dari berbagai aliran. Seolah-olah, kota ini harus mengungguli Jakarta dan Surabaya. Berbagai pagelaran musik berskala nasional maupun internasional di gelar di kota kembang ini. Tidak mengherankan jika Bandung menyebut dirinya sebagai Ibukota Kreativitas!.

Rasa hormat dan penghargaan tinggi memang layak diterima oleh BCCF sebagai media komunikasi dan tempat berkumpulnya berbagai komunitas kreatif kota Bandung dan sekitarnya. Semua sub sektor industri kreatif  yang diidentifikasi Kementrian Perdagangan (14) plus kuliner merapat dan menjadi bagian aktif forum ini.  BCCF berperan sangat besar dalam menjembatani kepentingan semua komunitas kreatif di Bandung dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Karena didalamnya ada komunitas perguruan tinggi yang dimotori oleh ITB terutama FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) serta Sekolah Bisnis ITB. Komunitas jalanan dan death metal yang biasanya tertutup, ternyata masuk di dalamnya.
BCCF bukan sekadar wadah komunitas kreatif yang berbadan hukum. Tapi banyak kajian ilmiah yang berkait dengan pengembangan sub-sub sektor ekonomi kreatif difasilitasi dan jadi keputusan politik dalam membuka dan menata ruang-ruang publik seperti taman kota, halte bus dan lain-lain. Sehingga fanatisme warga Bandung  kepada forum ini dinyatakan dalam beragam bentuk. Dari perkumpulan penggemar sepeda, lahir bisnis baru penyewaan sepeda di waktu-waktu tertentu. Belum yang terbilang prestisius semacam HelarFest yang telah berlangsung sejak 2008. Perkumpulan Komunitas Kreatif Kota Bandung yang lebih dikenal dengan Bandung Creative City Forum (“BCCF”) adalah organisasi lintas komunitas kreatif yang dideklarasikan dan didirikan oleh Perseorangan, Wirausaha Kreatif, Lembaga Nirlaba dan Komunitas di Kota Bandung pada tanggal 21 Desember 2008. BCCF sendiri pada awalnya adalah sebuah forum komunikasi informal untuk koordinasi dan komunikasi diantara komunitas kreatif di Bandung dalam rangka untuk menyelenggarakan kegiatan Helar Festival 2008 (“Helarfest 2008”)
Sebagai organisasi resmi, BCCF mempunyai maksud dan tujuan pada saat didirikannya BCCF sebagaimana tertuang di dalam Anggaran Dasar Pendirian BCCF, yaitu sebagai berikut:
1.      Menjadi wadah penguatan masyarakat madani (civil society) yang mandiri (independent) dan tidak terafiliasi baik langsung atau tidak langsung dengan Organisasi Masa atau Partai Politik manapun, baik ditingkat lokal atau nasional.
2.      Menjadi forum komunikasi, koordinasi dan usaha bagi perseorangan atau badan usaha atau komunitas kreatif di Bandung.
3.      Menjadi forum bersama untuk memberikan daya tawar lebih besar dalam penguatan ekonomi bagi para anggota, pelaku ekonomi/industri kreatif dan kota Bandung sekitarnya.
4.      Menambah daya dorong pengembangan dan pemberdayaan potensi kreatif warga Bandung dan sekitarnya.
5.      Memperkenalkan Bandung sebagai Kota Kreatif terdepan, baik di tingkat nasional, regional dan internasional.
6.      Menjalin kerjasama baik ditingkat Nasional atau Internasional untuk kepentingan pengembangan dan pembangunan ekonomi/industri kreatif di Bandung.
7.      Mengembangkan kreatifitas sebagai upaya untuk pemberdayaan ekonomi dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat sipil, kelestarian ekosistem dan penghargaan terhadap keaneka-ragaman budaya.


Sebagai organisasi lintas komunitas kreatif, BCCF ini didirikan oleh sebagian besar adalah orang-orang atau komunitas kreatif yang ada di kota Bandung atau yang bidang pekerjaan atau aktifitasnya bersinggungan sangat erat dengan dunia kreatifitas dan  inovasi. Para pendiri dan anggota BCCF di awal pembentukan: BDA+Design, Urbane, Adiwilaga & Co, Pixel People Project, LABO the Mori, Mahanagari, Sembilan Matahari,
Death Rock Star, Tegep Boots, Invictus, Common Room Foundation, Bandung Arsitektur Family (BAF), Bikers Brotherhood, KICK, Komunitas Sunda Underground, Bandung Death Metal Sindikat, Solidaritas Independen Bandung, Ujung Berung Rebel, Jendela Ide, Republic Entertainment, Saung Angklung Udjo, Pusat Studi Urban Desain (PSUD), SAPPK ITB, Seni Rupa ITB, PSDP ITB, Eco- Ethno, Galeri Seni Bandung, Open Labs dan sebagainya.
Pasca Helarfest 2009, muncul beberapa nama baru  seperti Komunitas Air Fotografi, Komunitas Origami Indonesia, Komunitas GANFFEST, INDDES ITB, Angklung Web Institute (AWI), Komunitas Picu Pacu, Komunitas Mahasiswa Seni Rupa ITB, Bandung Flower Day, Bandung Affairs dan sebagainya.

Rabu, 03 April 2013

ANTARA JOGJA, SOLO DAN BANDUNG



Proses Kreatif di Pusat-pusat Kreatifitas - Bagian I

Hampir setiap kali membahas ekonomi kreatif, dua kota utama : Jogja dan Bandung muncul sebagai bagiannya. Jogja dengan segala sebutan : kota pelajar, wisata, kuliner (gudeg dan beragam jajanan khas), budaya dan entah berapa lagi lainnya boleh disebut sebagai barometer dunia kreatif di tanah air. Masih ingat kaos oblong “DAGADU” ? Kaos yang identik dengan kaum muda berlogo mata sesuai namanya. Dagadu adalah bahasa plesetan dari kata matamu. Bagi masyarakat Jawa, kata itu berkesan kasar atau tidak berbudaya. Di situlah letak ketajaman daya kreasi pencipta merk ( A Noor Arief) yang telah dibajak berkali-kali, sampai sekarang masih eksis berkreasi di sub sektor busana (fesyen/ fashion).


Selain memproduksi kaos, Dagadu juga memfasilitasi beragam kegiatan kreatif di antaranya Lomba pembuatan video kreatif tentang Jogja (Jocvec), membuat situs internet: http://blog.dagadu.co.id/  yang isinya khas  dan semua dikasih nama dengan imbuhan MATA. Misalnya kolom yang bertajuk MATALALU  yang berisi informasi masalalunya Dagadu untuk pemula maupun garda depan yang punya tugas di bidang layanan konsumen (lakon). Tanpa bermaksud melebih-lebihkan Dagadu (yang memang punya banyak kelebihan) atau Jogja (karena bagian dari alumni di kota itu), saya menyoroti dagadu karena kejelian mereka melihat banyak persoalan rumit dalam kacamata cerdas (smart) dan tetap tersenyum (smile). Dua hal yang membedakan “gali” Jogja dengan lainnya. Dagadu adalah bahasa “gali” dan oleh mas Noor Arief sang pemilik merek dagang DAGADU digali maknanya sampai benar-benar njogjani alias pokoknya Jogja banget. Kesan sangar sang gali diubah total dengan “senyum” yang representatif keramahan masyarakat Jogja.  


Dalam hal penerapan Ekonomi Kreatif, Kota Jogja memakai logo di atas yang sudah cukup dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Jargon yang diusung adalah " NEVER ENDING ASIA".  Kota ini memilih sub sektor kerajinan, fesyen, piranti keras dan lunak komputer sebagai andalan untuk menggerakkan ekonomi kreatifnya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa Yogyakarta adalah kota seni dan budaya. Beragam peninggalan sejarah karya seni adiluhung seperti keraton dan tari langen bedaya-nya; pandangan spiritual tentang jalur imajinatif Merapi, Keraton dan Laut Selatan; munculnya nama kampung kerajinan seperti Batikan, Gamelan, Gemblakan, Kotagede dan lain-lain serta aneka kerajinan yang sudah memasyarakat seperti batik, olah kulit, ukir dan sebagainya.

Dari alasan di atas kemudian disusun 13 langkah untuk merealisasikannya: 
  1. Mendorong lahirnta YOGYAtic sebagai komunitas produsen kerajinan sekaligus perintis pola pembinaan OVOP sehingga mendapat penghargaan Hiramatsu Award.
  2. Memfasilitasi sekretariat Yogya-IT
  3. Dalam RPJMD, salah satu programnya adalah pengembangan industri kreatif
  4. Kebijakan menuju Yogya Cyber Provinc
  5. Penyelenggaraan lomba desain produk kerjasama pusat dan daerah
  6. Mendorong kegiatan promosi penerbitan dan percetakan dalam bentuk bursa buku
  7. Memberikan apresiasi kepada kreator
  8. Melakukan sosialisasi kebijakan pengembangan industri kreatif
  9. Menyelenggarakan promosi produk industri kreatif di tingkat lokal maupun nasional
  10. Menyelenggarakan kegiatan tahunan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY)
  11. Penyelenggaraan kegiatan tahunan Yogya Fashion Week
  12. Menyelenggarakan Cat Fish Day untuk meningkatkan konsumsi ikan nasional
  13. Menyelenggarakan pameran kuliner menu tradisional melalui dinas pariwisata
Mengurai kreatifitas anak-anak muda Jogja sepertinya tak akan ada habisnya. Setiap sudut kota punya sisi menarik untuk digali sisi kreatifnya. Pasar kerajinan di sepanjang Jl. Malioboro seolah bersambung dengan pasar jajanan di Jl. Mataram sampai Pasar Pathuk yang menyajikan bakpia hangat yang baru keluar dari oven para pembuatnya. Di sekitar pasar tradisional yang berada di tengah kota Jogja ini, kita bisa juga menikmati gudeg ala Yu Siyem yang telah dikenal sejak jaman perjuangan menegakkan kemerdekaan. Tidak heran jika Dagadu.co.id menyediakan laman khusus: kapan lagi ke Jogja untuk para alumni menapak-tilasi jejak Jogja dengan segala ragam kenangan yang melekat di hati.
   
Jika kaos Dagadu Jogja muncul di pertengahan 1990-an, Bandung telah mendului sebagai pelopor pembuatan Indonesian Denim (jeans Bandung) dengan Jl. Tamim sebagai icon utama. Beda dengan Jogja yang menggali habis budaya lokal, Bandung cenderung memilih sebagai duplikator model jeans dari merek-merek internasional yang sudah dikenal publik. Olah duplikasi ini berlangsung cukup lama, sekitar dua dasawarsa sampai awal 2000-an ketika Jakarta mulai tertarik bersaing dengan Bandung. Saat ketika produk konveksi dan garmen rumahan mengalami booming. Setidaknya, kesan itu yang saya dapatkan di lapangan sepanjang waktu mendampingi sentra konveksi Roworejo memasuki pusat-pusat perdagangan barang konveksi dan garmen di Tanahabang dan Cipulir (Jakarta) atau sekitar Jl. Embong Malang dan Jembatan Merah di Surabaya. 
(bersambung: Solo dan Bandung)




Sabtu, 30 Maret 2013

OVOP & EKONOMI KREATIF


Ada dua gagasan dasar yang memiliki keserupaan dalam upaya mengembangkan potensi ekonomi masyarakat yakni OVOP dan Ekonomi Kreatif. Beberapa tulisan sebelumnya telah dibahas tentang OVOP. Kini giliran untuk mengupas faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan pembangunan kewilayahan yaitu ekonomi kreatif (Creative Economy) atau sering disebut juga dengan istilah Creative Industry). Kedua istilah  creative economy atau industry saya anggap sama maknanya.

Definisi ekonomi kreatif menurut Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekref) yaitu industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berdasar batasan ini jelas sekali orientasi ekonomi kreatif adalah individual, SDM kreatif. Mungkin ada pertanyaan, siapakah SDM kreatif itu ? Jawaban singkat : siapapun bisa dan mungkin melakukan aktivitas ekonomi kreatif baik karena punya latar pendidikan maupun berbakat kreatif.

Pertanyaan berikutnya, apakah orang yang punya latar pendidikan dan bakat kreatif mampu menyelenggarakan ekonomi kreatif? Jawaban singkat : tidak semua atau tidak selalu. Mengapa? Banyak orang kreatif, mampu menghadirkan karya-karya kreatif yang bernilai ekonomi tapi enggan atau tidak mampu menangkap peluang ekonomi yang ada dalam karya-karyanya. Berkait dengan peluang, kita akan melihat di sisi sebaliknya : tantangan dan/atau hambatan.

Dalam buku Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025 yang dipublikasikan (dapat diunduh gratis) oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi disebutkan bahwa di Amerika Serikat, Richard Florida menggolongkan SDM kreatif sebagai strata (sosial-pen) baru yang disebut creative class. Di era ekonomi baru ketika kreatifitas telah menjadi industri, pekerja kreatif bukan hanya dari sektor seni.  Di dalamnya ada juga  ilmu pengetahuan (sains), teknologi, manajemen dan lain-lain.  Ada pendidik, peneliti, insinyur, desainer, artis, musisi dam penghibur (entertainer). Mereka adalah orang-orang yang menghadirkan ide-ide baru, teknologi baru, konten baru serta orang-orang yang mengandalkan daya pikir dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
Berkembangnya kegiatan berbasis kreativitas di Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Asia berupa kegiatan sub kontrak (outsourcing) yang kian menunjukkan kematangannya membuat India dikenal sebagai negeri penghasil film (Bollywood) dan piranti lunak. Sementara itu Korea Selatan dan China dikenal sebagai produsen otomotif, barang-barang elektronik dan industri konten sejajar dengan Jepang yang telah mendului. Singkat cerita kita akan menuju satu pertanyaan: bagaimana dengan Indonesia ? Belum berkembang maksimal karena terkendala beberapa hal utama:
  1. Banyak SDM kreatif di bidang artistik yang belum memahami secara menyeluruh “isi” kreativitas di era industri kreatif.  Sehingga masyarakat awam menilai dunia artistis adalah ekslusif dan tidak merakyat  ( masalah orientasi dan apresiasi – pen).
  2. SDM kreatif di luar bidang artistik (sains dan teknologi) terlalu mikroskopik dalam melihat keprofesionalannya sehingga cenderung berpola pikir mekanistik dan kurang inovatif             ( masalah orientasi dan apresiasi – pen).
  3. SDM kreatif sering kekurangan sarana untuk melakukan eksperimen dan berekspresi sehingga hasil karyanya sering kurang kreatif dan inovatif (masalah apresiasi-pen).
Dari semua kendala yang dipetakan oleh lembaga negara yang berkompeten ini dapat diringkas ke dalam dua masalah utama yaitu orientasi (67%) dan apresiasi (100%). Masalah orientasi bergantung pada iklim atau trend setting. Sedangkan masalah apresiasi adalah masalah budaya. Solusi atas masalah orientasi adalah keperpihakan nyata penentu kebijakan publik yakni pemerintah dan DPR/DPRD.  Ilim politik saat ini tidak kondusif untuk menghadirkan iklim yang sehat tumbuh dan berkembangnya SDM kreatif. Sementara itu, masalah budaya bisa dipacu dengan menghadirkan iklim sehat dan reward yang merangsang orang untuk melakukannya dengan lebih baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam waktu yang sejalan.

Konsep OVOP dan Ekonomi Kreatif menempatkan pembangunan SDM sebagai faktor penting. Sasaran yang dituju pada konsep OVOP adalah produk lokal yang berorientasi global dengan pendekatan komunal. Sementara itu, dalam ekonomi kreatif pendekatan yang digunakan adalah individual. OVOP mengedepankan nilai tambah atas produk (beberapa produk) yang sudah ada, ekonomi kreatif mengharuskan pembaruan atas produk dan/atau jasa yang telah ada atau menghadirkan produk dan jasa yang benar-benar baru dalam suatu proses inovatif. Perbedaan keduanya bisa dijembatani dengan kebijakan politik pemerintah yang kondusif. Tumpang tindih dan “perebutan wewenang” menangani kedua potensi kreatif masyarakat justru akan mematikan jalan menuju Indonesia sejahtera, adil dan makmur (mungkin masih bersambung).

Jumat, 29 Maret 2013

OVOP Indonesia ?



Mampukah koperasi menjadi fasilitator pengembangan OVOP di Indonesia? Bisa ya atau tidak. Jawaban pasti akan banyak bergantung pada masing-masing koperasi yang ditunjuk oleh Kementrian KUKM dalam menerjemahkan OVOP sehingga aplikasinya tepat sasaran.

OVOP di Indonesia
Sejauh ini, Indonesia belum memiliki konsep dasar OVOP seperti OTOP di Thailand.  Berikut adalah tentang OTOP.
Tujuan OTOP di Thailand:
  1. Untuk membangun sebuah sistem database yang komprehensif, yang mengakomodasi informasi bagi setiap Tambon di Thailand
  2. Untuk mempromosikan produk lokal dari setiap Tambon, dan untuk memfasilitasi prosedur jual belinya.
  3. Untuk membawa teknologi internet ke desa-desa dan ini adalah titik awal dari Proyek Internet Tambon
  4. Untuk  mendorong dan mempromosikan pariwisata di Thailand ke tingkat Tambon. Sehingga pendapatan akan dibagikan lebih besar kepada masyarakat pedesaan.
  5. Untuk membantu masyarakat pedesaan bertukar informasi, ide, dan meningkatkan komunikasi di berbagai Tambon.
Konsep OVOP sangat fleksibel dan integratif. Artinya, setiap daerah atau wilayah dapat menetapkan batasan dan tujuannya. Jika sasaran yang ingin dituju adalah skala nasional, pendekatan yang digunakan biasanya top-down terutama berkait dengan penyediaan anggaran. Kelemahan pendekatan ini, semangat kreatif yang menjadi acuan pokok konsep dasar OVOP bisa tereliminasi oleh proses birokrasi yang sangat panjang dan acapkali terjadi salah persepsi ketika harus diaplikasikan kepada kelompok sasaran. Dalam istilah komunikasi, pendekatan top-bottom sering menimbulkan denging (noise). Apalagi jika pejabat yang berkompeten menangani di daerah tidak senada dan seirama karena “beda selera” atau orientasi politik dengan yang di pusat. Lebih kacau lagi jika denging itu ditambah bisikan yang bernada provokatif.

Sementara itu, untuk mengaplikasikan konsep OVOP dengan pendekatan bottom up, kendala utama: kelangkaan inisiatif karena beragam sebab. Yang paling klasik tentu soal ketersediaan anggaran. Ibarat berdagang, harus ada modal finansial dulu sebelum melangkah. Inisiatif akan muncul, mengikuti aliran dananya. Dengan kata lain, jangan berharap ada inisiatif jika anggaran tidak tersedia. Kondisi seperti inilah yang sering dijumpai ketika ada usulan dari ”bawah”. Belum lagi masalah tumpang tindih kebijakan antara satu dan lain dinas atau kementrian.

Mengacu pada gagasan dasar OVOP, produk yang dihasilkan oleh masyarakat memiliki kedekatan erat dengan budaya lokal dan bernilai tambah tinggi. Kerajinan adalah representatif untuk hal ini. Setidaknya ada 2 atau dinas yang mungkin “merasa memiliki” yaitu dinas perindustrian/perdagangan, dinas koperasi dan UKM serta dinas Pariwisata, Budaya dan Ekonomi Kreatif. Bagi daerah tertentu, mungkin ada penggabungan SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) yang terkait dengan aktivitas produktif dan kreatif masyarakat seperti Kabupaten Kutai Kertanegara yang menggabungkannya jadi Disperindagkop (Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi & UKM). Semakin banyak dinas atau SKPD yang merasa berkepentingan dengan dengan pengembangan kegiatan OVOP sebenarnya semakin baik agar ada upaya maksimal untuk mewujudkannya.

Tetapi, dalam realita sering berbeda. Setiap SKPD punya kepentingan dan biasanya tidak mau digabungkan. Eksklusifitas kepentingan inilah jadi satu masalah serius bagi pengembangan aplikasi OVOP di banyak daerah, termasuk Kabupaten Kebumen. Karena itu, pada acara Temu Solusi OVOP Jawa Tengah 22 Februari 2013 lalu, Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya Manusia Kementrian Koperasi dan UKM tidak menyebut kerajinan anyaman pandan Kebumen sebagai bagian yang telah diprogramkan pada 2013. Selain carica di Wonosobo dan bordir di Kudus, gula kelapa di Cilacap, batik Solo, kain sarung goyor di Pemalang dan Klaten, tenun troso Jepara dan kerajinan ikan pari di Boyolali.

Inilah yang menjadi satu pertanyaan besar saya dan teman-teman di lapangan, mengapa ketika dalam peringatan Hari Koperasi 2012 di Kabupaten Kebumen, pemecahan rekor Muri atas nama Pemerintah Kabupaten Kebumen dibebankan kepada para perajin anyaman pandan ? Selanjutnya, mengapa aktivitas itu dipindahkan lokasinya dari area publik (alun-alun Kebumen) ke area pribadi (pabrik Dubexcraft) ? Pertanyaan paling krusial, mengapa untuk acara seakbar itu para perajin tidak diapresiasi secara layak ? Apakah hal ini yang jadi penyebab utama tidak masuknya kerajinan anyaman pandan Kabupaten Kebumen yang telah membawa Tasikmalaya, Jogja dan Bali menjadi pemasok utama ekspor kerajinan anyaman pandan ke dalam program OVOP??

Bagaimana mungkin mengaplikasikan satu program pembangunan yang diadopsi dari negara lain tanpa pemahaman memadai  tentang faktor kultural masyarakatnya? Jepang diakui sebagai negara maju yang masih kuat menjaga tradisi dan budaya masyarakatnya.  Sebagai negara yang  pernah dijajah Jepang, sedikit banyak, masyarakat Indonesia memahami kondisi itu sebagai nilai tambah kemajuan Jepang dibandingkan dengan Eropa maupun Amerika Serikat. Disiplin dan kerja keras adalah tradisi masyarakat Jepang yang tidak mudah diaplikasikan di Indonesia. Apalagi di masa sekarang, kebanyakan dari pemimpin formal di semua lini, tidak menjadikan kedua tradisi itu sebagai pemacu semangat yang menumbuh-kembangkan tantangan-tantangan kreatif sebagai realisasi prinsip dasar OVOP di bidang pengembangan sumber daya manusia.

Praktik yang lazim terjadi justru sebaliknya. Orang-orang yang memelihara prinsip kemandirian (sama dengan menjaga kemerdekaan) justru tidak disukai oleh para pengambil keputusan politik (baca sebagai pejabat publik)  karena akan mengganggu kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kekusutan ini diperparah dengan pola rekrutmen pejabat publik yang sarat praktik KKN dan semakin telanjang. Dan lebih kusut lagi karena semakin jarang ditemui pejabat publik mau bekerja sama dengan orang-orang  yang menjaga independensi  dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal.
OVOP adalah program idealistik dengan syarat-syarat yang sangat ketat.  Potensi kreatif masyarakat berbasis kultural dan bernilai tambah tinggi. Penghormatan atas hal itu adalah pengembangan aktivitas produktif tanpa merusak tradisi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat lokal. Modernisasi dimungkinkan pada sisi rancang bangun produk (product design) dengan pendekatan teknologi informasi. Sebelum hal ini diterapkan, masyarakat lokal harus dikondisikan dengan nilai-nilai budaya yang terdapat pada teknologi itu. Sehingga tidak menimbulkan cultural shock yang kemudian akan mematikan potensi budaya lokal secara sistematik.
Kemudahan mengakses informasi internet dari telepon selular yang telah menjangkau ke desa-desa di satu sisi menumbuhkan harapan baru bagi pengembangan potensi lokal. Di sisi lain, hal itu justru akan menjadi bencana kebudayaan ketika pengguna tidak memahami nilai-nilai kultural yang ada di dalamnya. Sangat mungkin terjadi perubahan pola pikir yang semula produktif menjadi konsumtif. Dalam koteks OVOP, potensi lokal yang seharusnya menjadi titik pijak dan pacu pengembangan aspek ekonomi dapat berbalik arah menjadi faktor perusak utama potensi itu. Di sinilah sisi menarik dari konsep aplikasi OVOP di berbagai negara. Kita (Indonesia) bisa mewujudkan gagasan brilian Mr.  Morihiko Hiramatsu dengan sikap hati-hati, tapi tanpa curiga. Jika Thailand mampu dengan OTOP, suatu saat mungkin kita akan meluncurkan ODOB (One District One Brand) atau justru sebaliknya, benar-benar jadi bodo ? (bersambung)

Kamis, 14 Maret 2013

Pasar Senggol 2010: Sederhana Tapi Manis

Panggung utama

Pasar Senggol :Sekaten ala Kebumen yang Tengah Bersolek


Belajar dari pengalaman dan kegagalan di masa lampau adalah salah satu ciri manusia berfikiran maju. Pada pelaksanaan kegiatan yang sama di tahun 2010 ini, salah satu tokoh masyarakat di sekitar tempat berlangsungnya acara tahunan PASAR SENGGOL, Yahya Mustofa, mengungkapkan banyak hal tentang pengalaman menyelenggarakan acara ritual budaya masyarakat di sekitar Pasar Selang Kebumen. Mengikuti anjuran Bupati saat itu, H.M. Nashirudin Al Mansyur yang menginginkan penyelenggaraannya mirip atau sama dengan Sekaten Jogja ternyata berbuah kekecewaan yang berlarut. Semula ia kurang bergairah saat disinggung kemungkinan pelaksanaannya di tahun 2010.

Selain faktor keuangan yang mengalami difisit cukup besar, sampai saat ini Panitia Penyelenggara yang terdiri dari tokoh masyarakat dan perangkat desa di Selang, Adikarso dan sekitarnya belum mampu menuntaskan laporan kegiatan itu. Kendala lain adalah kegagalan menghadirkan band metal asal Bandung "Power Slave" kepada para penggemar musik rock Kebumen setelah dilarang tampil oleh aparat kepolisian justru di saat akhir waktu. Pelarangan di sela check sound punggawa band yang senafas dengan grup band kondang asal Inggris, LED ZEPPELIN. Artinya, ada " keanehan " di balik pelarangan yang berdalih keamanan. Singkat kata, misi mengangkat peristiwa budaya masyarakat lokal ini "gagal".

Karena itu, setelah kami berdiskusi luas dan menemukan satu titik temu pemikiran bahwa jika peristiwa budaya itu harus dilakukan dengan cara dan suasana yang berbeda. Perbedaan skala prioritas dan yang menggembirakan adalah keterlibatan komunitas pelaku seni budaya lokal yang aktif berproses dan memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan Pasar Senggol sebagai bagian dari upaya pengembangan potensi ekonomi kreatif di Kabupaten Kebumen. Khususnya dalam hal seni pertunjukan, periklanan, kerajinan, pasar seni dan barang antik serta layanan komputer dan piranti lunak dalam sebuah "kawasan industri kreatif" bernama PASAR SENGGOL 2010. Yang Muda Ceria, Yang Tua  Bahagia. Bukan sekadar all about Kebumen. Tapi Kebumen Ngethek alias It's Truly Kebumen ... yakin gologokin.

Obrolan tengah malam jelang pelaksanaan


Tradisi masyarakat Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW cukup beragam. Di tlatah (wilayah kuasa kerajaan) Mataram masyarakat mengenal Grebek Maulid yang disebut Sekaten. Jika perayaan di Ngayogyakarta Hadiningrat (Jogja) diawali dengan kirab pusaka keraton dan berakhir dengan keluarnya gunungan kembar simbol kemakmuran. Hal serupa terjadi juga di Solo. Bedanya, simbolisasi di Keraton Surakarta  adalah tradisi "angon kebo bule" Kyai dan Nyai Slamet. Meski kurang faham dengan makna dibalik nama pasangan kerbau itu dan peristiwa yang mengiringi, nampaknya keselamatan dan kemakmuran jua yang menjadi tujuan utama tradisi tersebut.


Peristiwa sama di Desa Selang dan sekitarnya disebut Pasar Senggol. Sejak berpuluh tahun yang lalu, masyarakat di sekitar pasar tradisional desa Selang semisal Adikarso, Kalirejo, Panjer, Kebumen dan sebagainya menjadikan acara itu sebagai peristiwa budaya lokal dalam rangkaian kegiatan memperingati hari besar keagamaan Islam. Dalam peristiwa itu, muncul nama tokoh utama : Kramaleksana. Dari penuturan Yahya Mustofa, sosok Kramaleksana adalah “pahlawan” yang membuka lahan bagi sejumlah masyarakat di wilayah itu. Dia adalah prajurit Mataram yang ditugaskan bersama sejumlah pasukan lain untuk memperluas wilayah kekuasaan. Di sisi inilah beragam cerita heroik dan mistis muncul sebagai bagian tradisi masyarakat tersebut. Karena itu, model perayaannya sangat mirip dengan gaya Jogja ketimbang Solo.

   

Layaknya sebuah pasar malam, ada berbagai kegiatan yang melingkupinya. Sebagai ajang bisnis para pedagang kaki lima, bakul jajanan, pedagang mainan anak dan sebagainya. Yang tidak pernah ketinggalan adalah sebagai ajang mencari jodoh, arena perebutan kekuasaan preman lokal dengan segala nuansanya dan beragam pernak-pernik kehidupan malam. Karena itu, dimensi religi yang seharusnya lebih menonjol dibanding tradisi yang belum dikaji dalam penelitian ilmiah acapkali terabaikan.


Yang menarik dari penyelenggaraan tahun ini adalah adanya sentuhan manajemen hiburan. Sebagai tokoh sentral, Yahya Mustofa yang tahun kemarin mendapat Upakarti Bidang Kepoloporan Pemuda, pemilik Dubex Handicraft dan sejumlah unit usaha lain serta Ketua Umum Hipando (Himpunan Perajin Anyaman Indonesia) mengundang orang yang bertugas khusus menangani manajemen hiburan tersebut. Tema pokok yang ditawarkan sebagaimana dituturkan Fauzan adalah “All about Kebumen”. Bila diterjemahkan bebas mungkin jadi “ pokoknya asal Kebumen”. Tema itulah yang menarik perhatian kami, Komunitas Ego. Ada kegairahan tersendiri di saat kami tengah mengangkat produk budaya lokal yang kian terpinggirkan seperti Kethoprak Pesisiran dan Rodat, Jamjaneng dsb. Sekaligus memberi pencerahan kepada orang-orang di dinas kebudayaan setempat yang mendefinisikan kesenian atau budaya lokal identik dengan irama yang rancak dan dalam suguhan jingkrak-jingkrak.

Lebih bergairah lagi ketika kami mendengar langsung dari Yahya Mustofa, bahwa panggung utama akan dilengkapi fasilitas multi media. Pucuk dicinta, ulam tiba. Angan kami mengembara ke desa Brecong Buluspesantren. Di sana ada tokoh seni kethoprak pesisiran, Bambang Kethoprak. Bergegas kami kunjungi beliau dan menawarkan kerja sama. Kolaborasi antara seni drama tradisional dan teater modern dengan kesepakatan bahwa soal teknis pentas akan dibicarakan khusus dengan ahlinya, Putut AS dan kawan-kawan Komunitas Ego yang selama ini berproses di Jogja dengan nama Sanggar Ilir atau Wayang Mika L mas Kaji Habeb.

          Bambang Kethoprak   

Entah sebab apa, kami mendapat informasi dari Seksi Hiburan, Gobeth Arief Budiman bahwa Polres Kebumen hanya memberi ijin 2 hari dari 6 hari yang dijadwalkan. Mendengar kabar itu, kami terkulai lemas. Setelah menunda sehari, akhirnya kami memberi tahu mas Bambang bahwa pentas kolaboratif di Pasar Senggol 2010 urung dilaksanakan karena alokasi waktunya sangat pendek. Hanya 30 menit. Panggung utama yang semula didesain knock down karena berada di persimpangan jalan Kutoarjo dan Cendrawasih harus dipindahkan ke lokasi aman di tanah kosong di belakang deretan tenda pedagang. Lengkap sudah kecewa kami kepada Panitia, khususnya Pemerintah Kabupaten Kebumen yang berkesan “ hanya mau mengunduh tanpa kesediaan mengunggah” atas potensi kreatifitas warga masyarakatnya. Apalagi ditambah penuturan Yahnya Mustofa, bahwa ketika mengajukan ijin kegiatan itu di Pemkab, timnya di – ping pong.


Meski pada akhirnya waktu penyelenggaraan yang dijadwalkan selama 6 hari menjadi nyata, tapi dengan persiapan yang hanya lima hari membuat gairah kami tak mudah dipulihkan. Dan karena undangan ditujukan kepada Panitia Gelar Panggung Teater (GPT) 2010, kami harus menindak-lanjuti undangan Panitia Pasar Senggol itu kepada seluruh pengisi acara yang ada di Kabupaten Kebumen.  Dari tujuh komunitas teater pengisi acara GPT 2010, hanya dua yang siap pentas yakni Teater Gerak dari STAINU dan Teater Putra Bangsa (Tetrasa) STIE Putra Bangsa Kebumen. Sebagai wujud tanggung jawab dan kepedulian, Komunitas Ego mendampingi proses latihan dan pentas Tetrasa di hari ke 2 penyelenggaraan Semarak Pasar Senggol 2010. Lega di balik kecewa mendalam. Sambil berjalan pulang kami meneriakkan “selesai sudah masa janji, selesai sudah tugas menanti “ seperti prajurit pulang dari medan laga. Sekedar melepas penat dari rasa yang kian menggumpal dari waktu ke waktu.

Sanggar Ilir - Imakta membuka kebuntuan berteater dengan 
GPT 2009 dan 2010