Rabu, 03 April 2013

ANTARA JOGJA, SOLO DAN BANDUNG



Proses Kreatif di Pusat-pusat Kreatifitas - Bagian I

Hampir setiap kali membahas ekonomi kreatif, dua kota utama : Jogja dan Bandung muncul sebagai bagiannya. Jogja dengan segala sebutan : kota pelajar, wisata, kuliner (gudeg dan beragam jajanan khas), budaya dan entah berapa lagi lainnya boleh disebut sebagai barometer dunia kreatif di tanah air. Masih ingat kaos oblong “DAGADU” ? Kaos yang identik dengan kaum muda berlogo mata sesuai namanya. Dagadu adalah bahasa plesetan dari kata matamu. Bagi masyarakat Jawa, kata itu berkesan kasar atau tidak berbudaya. Di situlah letak ketajaman daya kreasi pencipta merk ( A Noor Arief) yang telah dibajak berkali-kali, sampai sekarang masih eksis berkreasi di sub sektor busana (fesyen/ fashion).


Selain memproduksi kaos, Dagadu juga memfasilitasi beragam kegiatan kreatif di antaranya Lomba pembuatan video kreatif tentang Jogja (Jocvec), membuat situs internet: http://blog.dagadu.co.id/  yang isinya khas  dan semua dikasih nama dengan imbuhan MATA. Misalnya kolom yang bertajuk MATALALU  yang berisi informasi masalalunya Dagadu untuk pemula maupun garda depan yang punya tugas di bidang layanan konsumen (lakon). Tanpa bermaksud melebih-lebihkan Dagadu (yang memang punya banyak kelebihan) atau Jogja (karena bagian dari alumni di kota itu), saya menyoroti dagadu karena kejelian mereka melihat banyak persoalan rumit dalam kacamata cerdas (smart) dan tetap tersenyum (smile). Dua hal yang membedakan “gali” Jogja dengan lainnya. Dagadu adalah bahasa “gali” dan oleh mas Noor Arief sang pemilik merek dagang DAGADU digali maknanya sampai benar-benar njogjani alias pokoknya Jogja banget. Kesan sangar sang gali diubah total dengan “senyum” yang representatif keramahan masyarakat Jogja.  


Dalam hal penerapan Ekonomi Kreatif, Kota Jogja memakai logo di atas yang sudah cukup dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Jargon yang diusung adalah " NEVER ENDING ASIA".  Kota ini memilih sub sektor kerajinan, fesyen, piranti keras dan lunak komputer sebagai andalan untuk menggerakkan ekonomi kreatifnya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa Yogyakarta adalah kota seni dan budaya. Beragam peninggalan sejarah karya seni adiluhung seperti keraton dan tari langen bedaya-nya; pandangan spiritual tentang jalur imajinatif Merapi, Keraton dan Laut Selatan; munculnya nama kampung kerajinan seperti Batikan, Gamelan, Gemblakan, Kotagede dan lain-lain serta aneka kerajinan yang sudah memasyarakat seperti batik, olah kulit, ukir dan sebagainya.

Dari alasan di atas kemudian disusun 13 langkah untuk merealisasikannya: 
  1. Mendorong lahirnta YOGYAtic sebagai komunitas produsen kerajinan sekaligus perintis pola pembinaan OVOP sehingga mendapat penghargaan Hiramatsu Award.
  2. Memfasilitasi sekretariat Yogya-IT
  3. Dalam RPJMD, salah satu programnya adalah pengembangan industri kreatif
  4. Kebijakan menuju Yogya Cyber Provinc
  5. Penyelenggaraan lomba desain produk kerjasama pusat dan daerah
  6. Mendorong kegiatan promosi penerbitan dan percetakan dalam bentuk bursa buku
  7. Memberikan apresiasi kepada kreator
  8. Melakukan sosialisasi kebijakan pengembangan industri kreatif
  9. Menyelenggarakan promosi produk industri kreatif di tingkat lokal maupun nasional
  10. Menyelenggarakan kegiatan tahunan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY)
  11. Penyelenggaraan kegiatan tahunan Yogya Fashion Week
  12. Menyelenggarakan Cat Fish Day untuk meningkatkan konsumsi ikan nasional
  13. Menyelenggarakan pameran kuliner menu tradisional melalui dinas pariwisata
Mengurai kreatifitas anak-anak muda Jogja sepertinya tak akan ada habisnya. Setiap sudut kota punya sisi menarik untuk digali sisi kreatifnya. Pasar kerajinan di sepanjang Jl. Malioboro seolah bersambung dengan pasar jajanan di Jl. Mataram sampai Pasar Pathuk yang menyajikan bakpia hangat yang baru keluar dari oven para pembuatnya. Di sekitar pasar tradisional yang berada di tengah kota Jogja ini, kita bisa juga menikmati gudeg ala Yu Siyem yang telah dikenal sejak jaman perjuangan menegakkan kemerdekaan. Tidak heran jika Dagadu.co.id menyediakan laman khusus: kapan lagi ke Jogja untuk para alumni menapak-tilasi jejak Jogja dengan segala ragam kenangan yang melekat di hati.
   
Jika kaos Dagadu Jogja muncul di pertengahan 1990-an, Bandung telah mendului sebagai pelopor pembuatan Indonesian Denim (jeans Bandung) dengan Jl. Tamim sebagai icon utama. Beda dengan Jogja yang menggali habis budaya lokal, Bandung cenderung memilih sebagai duplikator model jeans dari merek-merek internasional yang sudah dikenal publik. Olah duplikasi ini berlangsung cukup lama, sekitar dua dasawarsa sampai awal 2000-an ketika Jakarta mulai tertarik bersaing dengan Bandung. Saat ketika produk konveksi dan garmen rumahan mengalami booming. Setidaknya, kesan itu yang saya dapatkan di lapangan sepanjang waktu mendampingi sentra konveksi Roworejo memasuki pusat-pusat perdagangan barang konveksi dan garmen di Tanahabang dan Cipulir (Jakarta) atau sekitar Jl. Embong Malang dan Jembatan Merah di Surabaya. 
(bersambung: Solo dan Bandung)




0 komentar:

Posting Komentar