Itulah sederet kata
yang ada dalam tulisan Eddy Cahyono Sugiarto, Asisten SKP Bidang Ekonomi
dan Pembangunan di situs resmi Sekretariat Kabinet RI (http://www.setkab.go.id/ artikel-6693-.html
). Mengingat peran ekonomi kreatif yang semakin meningkat
bagi perekonomian suatu wilayah. Utamanya terhadap pengembangan ekonomi
berbasis UMKM (Usaha Menengah, Kecil dan Mikro), maka tidaklah berlebihan bila semakin banyak kota yang
menjadikan ekonomi kreatif sebagai ujung tombak dan katalisator
pengembangan ekonomi daerahnya. Untuk menjadi pemenang di tengah
persaingan yang semakin ketat, menurut Florida (The Rise of Creative Class),
kota-kota, daerah dan provinsi harus lebih menumbuhkan "iklim
orang-orang." Yang dimotori oleh kaum muda, dengan semangat inovasi dan kreatifitas, memoles
sesuatu yang “biasa”
menjadi “luar
biasa”.
Kontribusi sektor ekonomi kreatif terus meningkat dalam beberapa
tahun terakhir. Pada 2010 mencapai Rp 472,8 triliun dan mampu menyerap
11,49 juta tenaga kerja dan 2011 naik menjadi Rp 526 triliun dengan serapan
11,51 juta tenaga kerja. Tahun ini (2013-pen) angka itu ditargetkan terdongkrak
menjadi Rp573,4 triliun dengan serapan 11,57 juta tenaga kerja. Pengembangan
ekonomi kreatif akan sangat berperan dalam mengembangkan job creation, mengingat besarnya
potensi ekonomi kreatif yang dimiliki Indonesia. Dengan lebih dari 300 suku
bangsa. Dari sisi demografi penduduk usia muda yang mencapai 43% menjadi
modal plus yang kita miliki, karena kreatifitas sangat dekat dengan
kaum muda. Pengembangan ekonomi kreatif juga akan berdampak
langsung bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, mengingat
sektor ekonomi kreatif, sebagian besar digerakkan oleh pelaku UMKM
dan sangat potensial menjadi kekuatan dashyat untuk mendorong
Indonesia menjadi negara maju
Dua alinea di atas
sengaja saya hadirkan relatif penuh untuk mengawali pembahasan Bagian II dari
tulisan sebelumnya: OVOP dan Ekonomi Kreatif. Dengan tetap menyandingkan dua
konsep dasar pengembangan/ pembangunan SDM yang tengah menjadi trend di negara-negara maju di tengah
melambatnya pertumbuhan ekonomi global, diharapkan membuka cakrawala pandang yang
lebih segar dan konstruktif atas kerangka berpikir ortodoks yang
dipraktikkan oleh penyelenggara pendidikan formal dewasa ini. Kesengajaan tidak
menghadirkan angka agar kesan subyektif lebih ditonjolkan ketimbang yang
obyektif. Selain menyangkut masalah selera, juga dimaksudkan untuk menghindari
upaya copas (copy – paste atau klik kanan) yang tidak menggugah sel-sel syarat
di otak kanan manusia. Karena pada sisi ini, potensi kreatif manusia dapat
diangkat dan dikembangkan secara optimal.
Daya cipta adalah
anugerah terbesar yang diterima oleh manusia dari Sang Maha Pencipta. Dalam
konteks budaya, daya cipta perlu dibarengi dengan karsa agar mampu menghadirkan
karya-karya yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup diri dan manusia lainnya.
Semakin terbuka cakrawala pandang seseorang atas isi dunia ini, semakin luas
jangkauan tangannya untuk meraih hal-hal luar biasa. Jika sebelumnya ia hanya
mampu meraih sesuatu yang ada di sekitar dirinya, dengan meluasnya daya jangkau
pandangan yang mampu dilihatnya, ada kecenderungan untuk meraih keluar-biasaan
itu. Itulah yang dirasakan oleh Gubernur Oita ketika menggagas konsep OVOP.
Begitu juga dengan Bill Gates dengan Microsofnya. Atau yang lebih sederhana
adalah kota Bangkok dengan kemasan paket wisata Chao Praya River dan
sebagainya.
Chao Praya River
Pada tulisan
sebelumnya, ada dua kategori faktor penghambat bagi pengembangan ekonomi
kreatif di Indonesia. Yaitu yang berkaitan dengan masalah orientasi atau
menghadirkan iklim kondusif yang tidak semua pengambil kebijakan publik di
daerah-daerah mampu menghadirkannya secara efektif dan konsisten karena bias
kepentingan. Kategori kedua yakni masalah apresiasi yang saya sebut dengan
istilah masalah budaya. Kedua kendala ini tidak dapat dipecahkan secara parsial,
harus komprehensif dan diprogram serta melibatkan secara langsung orang-orang
kreatif di dalamnya.
Dari pengalaman
pribadi, ketika menggagas dan mengusulkan Festival Luk Ulo 2012 sebagai pengembangan
kegiatan Lomba Mancing di Sungai Luk Ulo, ada kesan kuat bahwa Kabupaten Kebumen
belum siap menghadapi era ekonomi baru yang kini popular dengan sebutan ekonomi
kreatif. Kesan ini saya perolah dari “sepinya” tanggapan, baik semua tingkat
pemerintahan : lurah sampai bupati. Atau lembaga yang berkompeten, terutama
Dinas Pariwisata dan Budaya, meski proposal telah diserahkan ke Bappeda dan
dipublikasikan melalui jejaring sosial facebook, twitter dan blog jauh waktu
sebelum rencana pelaksanaan. Tapi, mungkin juga karena lobby yang kurang kuat dibanding
kegiatan pencatatan rekor MURI atas kerajinan anyaman yang mengundang massa sangat banyak dan dihadiri oleh Menteri
Negara Koperasi dan UKM meski sampai sekarang masih menyisakan masalah dengan
kelompok perajin. Atau faktor lain yang tidak saya ketahui dan Lomba Mancing di
Sungai Luk Ulo 2012 tetap terlaksana meriah (beberapa anggota panitia sempat
gelisah ketika saya mengambil foto lokasi sebelum jam pelaksanaan).
Rakit di Sungai Luk Ulo
Terlepas dari
pengalaman pribadi di atas, saya ingin menyoroti Festival Seni ARTE 2013 yang
spektakuler. Perpaduan dinamis antara unsur klasik dan modern di tempat dan
waktu yang tepat: Jakarta Convention Center, 27 – 31 Maret 2013 lalu. Dari berbagai
publikasi foto dan berita yang bisa saya kumpulkan, tidak muncul jumlah
pengunjung dan nilai transaksi yang dibukukan dalam kegiatan itu. Yang menarik
dari kegiatan ini adalah penyelenggara yang didominasi oleh kaum muda dan
keputusan untuk membebaskan pengunjung dari HTM (harga tanda masuk) alias free
entry atau gratis. Bagi orang awam seperti saya, keputusan menggratiskan
tanda masuk ke arena festival adalah satu diantara banyak nilai plus festival
seni itu. JCC adalah prestis, meski bukan satu-satunya arena pameran bergengsi
di Jakarta.
Mengatasi tantangan, menerjemahkan komitmen
Besarnya potensi pengembangan ekonomi kreatif yang dimiliki
Indonesia, dengan karunia Tuhan akan kekayaan dan keragam-an budaya,
keindahan geografis wilayah serta sumber daya manusia kaum muda yang
indentik dengan dunia kreatif, perlu ditransformasikan menjadikan
kekuatan ekonomi baru yang peningkatan daya saing dan
nilai tambah ekonomi sehingga dapat berkonstribusi bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita didirikannya suatu negara. Oleh
karena itu, diperlukan adanya sinergitas dari semua pemangku kepentingan,
dalam mengatasi berbagai tantangan yang berpotensi menjadi bottleneck pengembangan ekonomi
kreatif, utamanya dalam membangun akselerasi sinergitas dalam meningkatkan
kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) kreatif. Karena mayoritas
SDM yang menyokong ekonomi kreatif Indonesia sebagian besar belajar
secara otodidak . Di samping itu, perlindungan HAKI yang kita
miliki juga masih jauh dari harapan. Infrastruktur teknologi informasi belum
kompetitif dan dukungan pembiayaan dari perbankan yang belum optimal, disamping
penetrasi pasar yang lemah karena adapsi teknologi informasi melalui online marketing belum membudaya.
Bercermin dari beberapa bottleneck yang
diidentifikasikan di atas, seyogyanya Kementrian/Lembaga di pusat dan
daerah sebagai perumus kebijakan ekonomi kreatif
diharapkan dapat memfasilitasi, memotivasi dan menginspirasi pengembangan ekonomi
kreatif dalam bentuk rencana aksi yang kongkrit dan terukur. Dengan
menjadikan ekonomi kreatif sebagai bisnis masa depan yang menjanjikan,
memfasilitasi promosi dan mengintensifkan bantuan modal usaha. Kalangan bisnis
diharapkan dapat mengoptimalkan self
development, mengembangkan kapasitas usaha melalui sistem lokomotif
– gerbong, dari pengusaha besar ke pengusaha kecil. Dan tak kalah pentingnya
adalah dukungan cendekiawan melalui pengembangan penetrasi pasar dengan
pemanfaatan online marketing.
Di samping berbagai terobosan lain, berpikir out of
the box, menciptakan linkage atau konektivitas ekonomi
kreatif dengan pariwisata, sebagai venue untuk proses produksi, distribusi
sekaligus pemasarannya.
Rekomendasi Asisten SKP Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Eddy C.
Sugiarto, ini sudah lebih dari cukup untuk mengambil langkah tepat bagi daerah (pemerintah provinsi dan
kabupaten/ kota) dalam menetapkan kebijakan pembangunan ekonomi wilayahnya
berbasis ekonomi kreatif. Alasan klasik keterbatasan anggaran tak perlu lagi
jadi “kambing hitam” karena ada program Corporate Social Responsibility (CSR) dari
berbagai BUMN maupun perusahaan nasional, KUR, PPK, PNPM dan sebagainya. Sepanjang
ada komitmen yang jelas dan tegas, bukan hanya kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Solo dan Denpasar saja yang mampu mengaplikasikan konsep
pembangunan kewilayahan ini. Kota/ Kabupaten kecil seperti Kebumen justru dapat
mengambil keuntungan maksimal dari peluang memajukan pembangunan ekonomi dengan
pendekatan aktual ini. Apalagi jika dipadukan dengan konsep OVOP.
Sekadar gambaran kasar, perpaduan dua konsep pemberdayaan ekonomi
masyarakat berbasis aktivitas dalam rerangka ekonomi kreatif dan OVOP di
Kabupaten Kebumen selain kerajinan anyaman pandan dapat juga dilakukan pada
sentra industri kuliner lanthing sebagai jajanan khas. Keduanya berlokasi di
Kecamatan Karanganyar dan secara sosiologis masyarakatnya cukup terbuka jika
dibandingkan dengan kota Kebumen. Tetapkan wilayah ini sebagai basis
pembangunan ekonomi dan jadikan wilayahnya sebagai “ajang adu prestasi” bagi para
calon pemimpin wilayah. Dalam banyak
hal, Karanganyar lebih memenuhi syarat kualitatif dibanding 25 kecamatan lain.
Tidak yakin ? Silakan kaji secara ilmiah, kalau perlu mendatangkan peneliti
dari UGM, UI, ITB dan IPB. Lebih afdol jika melibatkan organisasi profesi
semacam Hipando dsb. Dan bentangkan baliho raksasa: “Selamat Datang Ekonomi
Kreatif dan OVOP di Kabupaten Kebumen”. Semoga membawa kejayaan bagi masyarakat
Beriman. Amien 3x ya robbal ‘alamin.
0 komentar:
Posting Komentar