Selasa, 02 April 2013

Selamat Datang Era Ekonomi Kreatif Semoga Membawa Kejayaan Bagi Bangsa Indonesia



Itulah sederet kata yang ada dalam tulisan Eddy Cahyono Sugiarto, Asisten SKP Bidang Ekonomi dan Pembangunan di situs resmi Sekretariat Kabinet RI  (http://www.setkab.go.id/ artikel-6693-.html ). Mengingat  peran ekonomi kreatif yang semakin meningkat bagi perekonomian suatu wilayah. Utamanya terhadap pengembangan ekonomi berbasis UMKM (Usaha Menengah, Kecil dan Mikro), maka tidaklah berlebihan bila  semakin banyak kota yang menjadikan ekonomi kreatif sebagai ujung tombak  dan katalisator pengembangan ekonomi daerahnya.   Untuk menjadi pemenang di tengah persaingan yang semakin ketat, menurut Florida (The Rise of Creative Class), kota-kota, daerah dan provinsi harus lebih menumbuhkan "iklim orang-orang." Yang dimotori  oleh kaum muda, dengan  semangat inovasi dan kreatifitas, memoles sesuatu yang “biasa”  menjadi “luar biasa”.

Kontribusi sektor ekonomi kreatif terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2010 mencapai Rp 472,8 triliun dan mampu menyerap 11,49 juta tenaga kerja dan  2011 naik menjadi Rp 526 triliun dengan serapan 11,51 juta tenaga kerja. Tahun ini (2013-pen) angka itu ditargetkan terdongkrak menjadi Rp573,4 triliun dengan serapan 11,57 juta tenaga kerja. Pengembangan ekonomi kreatif  akan sangat berperan dalam mengembangkan job creation, mengingat besarnya potensi ekonomi kreatif yang dimiliki Indonesia. Dengan lebih dari 300 suku bangsa. Dari sisi demografi penduduk usia muda yang mencapai 43% menjadi modal plus yang kita miliki, karena kreatifitas sangat dekat dengan kaum muda. Pengembangan ekonomi kreatif juga akan  berdampak langsung  bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah,  mengingat sektor ekonomi kreatif,  sebagian besar digerakkan oleh pelaku UMKM  dan  sangat potensial menjadi kekuatan dashyat untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju


Dua alinea di atas sengaja saya hadirkan relatif penuh untuk mengawali pembahasan Bagian II dari tulisan sebelumnya:  OVOP dan Ekonomi Kreatif. Dengan tetap menyandingkan dua konsep dasar pengembangan/ pembangunan SDM yang tengah menjadi trend di negara-negara maju di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global, diharapkan membuka cakrawala pandang yang lebih segar dan konstruktif atas kerangka berpikir ortodoks yang dipraktikkan oleh penyelenggara pendidikan formal dewasa ini. Kesengajaan tidak menghadirkan angka agar kesan subyektif lebih ditonjolkan ketimbang yang obyektif. Selain menyangkut masalah selera, juga dimaksudkan untuk menghindari upaya copas (copy – paste atau klik kanan) yang tidak menggugah sel-sel syarat di otak kanan manusia. Karena pada sisi ini, potensi kreatif manusia dapat diangkat dan dikembangkan secara optimal.

Daya cipta adalah anugerah terbesar yang diterima oleh manusia dari Sang Maha Pencipta. Dalam konteks budaya, daya cipta perlu dibarengi dengan karsa agar mampu menghadirkan karya-karya yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup diri dan manusia lainnya. Semakin terbuka cakrawala pandang seseorang atas isi dunia ini, semakin luas jangkauan tangannya untuk meraih hal-hal luar biasa. Jika sebelumnya ia hanya mampu meraih sesuatu yang ada di sekitar dirinya, dengan meluasnya daya jangkau pandangan yang mampu dilihatnya, ada kecenderungan untuk meraih keluar-biasaan itu. Itulah yang dirasakan oleh Gubernur Oita ketika menggagas konsep OVOP. Begitu juga dengan Bill Gates dengan Microsofnya. Atau yang lebih sederhana adalah kota Bangkok dengan kemasan paket wisata Chao Praya River dan sebagainya.

Chao Praya River
Pada tulisan sebelumnya, ada dua kategori faktor penghambat bagi pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Yaitu yang berkaitan dengan masalah orientasi atau menghadirkan iklim kondusif yang tidak semua pengambil kebijakan publik di daerah-daerah mampu menghadirkannya secara efektif dan konsisten karena bias kepentingan. Kategori kedua yakni masalah apresiasi yang saya sebut dengan istilah masalah budaya. Kedua kendala ini tidak dapat dipecahkan secara parsial, harus komprehensif dan diprogram serta melibatkan secara langsung orang-orang kreatif di dalamnya.

Dari pengalaman pribadi, ketika menggagas dan mengusulkan Festival Luk Ulo 2012 sebagai pengembangan kegiatan Lomba Mancing di Sungai Luk Ulo, ada kesan kuat bahwa Kabupaten Kebumen belum siap menghadapi era ekonomi baru yang kini popular dengan sebutan ekonomi kreatif. Kesan ini saya perolah dari “sepinya” tanggapan, baik semua tingkat pemerintahan : lurah sampai bupati. Atau lembaga yang berkompeten, terutama Dinas Pariwisata dan Budaya, meski proposal telah diserahkan ke Bappeda dan dipublikasikan melalui jejaring sosial facebook, twitter dan blog jauh waktu sebelum rencana pelaksanaan. Tapi, mungkin juga karena lobby yang kurang kuat dibanding kegiatan pencatatan rekor MURI atas kerajinan anyaman yang mengundang massa sangat banyak dan dihadiri oleh Menteri Negara Koperasi dan UKM meski sampai sekarang masih menyisakan masalah dengan kelompok perajin. Atau faktor lain yang tidak saya ketahui dan Lomba Mancing di Sungai Luk Ulo 2012 tetap terlaksana meriah (beberapa anggota panitia sempat gelisah ketika saya mengambil foto lokasi sebelum jam pelaksanaan).
Rakit di Sungai Luk Ulo
Terlepas dari pengalaman pribadi di atas, saya ingin menyoroti Festival Seni ARTE 2013 yang spektakuler. Perpaduan dinamis antara unsur klasik dan modern di tempat dan waktu yang tepat: Jakarta Convention Center, 27 – 31 Maret 2013 lalu. Dari berbagai publikasi foto dan berita yang bisa saya kumpulkan, tidak muncul jumlah pengunjung dan nilai transaksi yang dibukukan dalam kegiatan itu. Yang menarik dari kegiatan ini adalah penyelenggara yang didominasi oleh kaum muda dan keputusan untuk membebaskan pengunjung dari HTM (harga tanda masuk) alias free entry atau gratis. Bagi orang awam seperti saya, keputusan menggratiskan tanda masuk ke arena festival adalah satu diantara banyak nilai plus festival seni itu. JCC adalah prestis, meski bukan satu-satunya arena pameran bergengsi di Jakarta.

Mengatasi tantangan,  menerjemahkan komitmen

Besarnya potensi pengembangan ekonomi kreatif yang dimiliki Indonesia,  dengan karunia Tuhan akan kekayaan  dan keragam-an  budaya, keindahan geografis wilayah serta  sumber daya manusia kaum muda yang indentik dengan  dunia kreatif, perlu ditransformasikan menjadikan kekuatan  ekonomi baru yang peningkatan  daya saing dan nilai tambah ekonomi sehingga  dapat berkonstribusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita didirikannya suatu negara. Oleh karena itu,  diperlukan adanya sinergitas dari semua pemangku kepentingan, dalam mengatasi berbagai tantangan yang berpotensi menjadi bottleneck  pengembangan ekonomi kreatif, utamanya    dalam membangun akselerasi sinergitas dalam meningkatkan  kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) kreatif.  Karena mayoritas SDM yang menyokong  ekonomi kreatif  Indonesia sebagian besar belajar secara otodidak . Di samping itu, perlindungan HAKI yang  kita miliki juga masih jauh dari harapan. Infrastruktur teknologi informasi belum kompetitif dan dukungan pembiayaan dari perbankan yang belum optimal, disamping penetrasi pasar yang lemah  karena adapsi teknologi informasi melalui online marketing belum membudaya.

Bercermin dari beberapa bottleneck   yang diidentifikasikan di atas, seyogyanya Kementrian/Lembaga di pusat dan daerah  sebagai perumus kebijakan ekonomi kreatif diharapkan dapat memfasilitasi, memotivasi dan menginspirasi pengembangan ekonomi kreatif dalam bentuk rencana aksi yang kongkrit dan terukur. Dengan menjadikan ekonomi kreatif sebagai bisnis masa depan yang menjanjikan, memfasilitasi promosi dan mengintensifkan bantuan modal usaha. Kalangan bisnis diharapkan dapat mengoptimalkan  self development, mengembangkan kapasitas usaha melalui sistem lokomotif – gerbong, dari pengusaha besar ke pengusaha kecil. Dan tak kalah pentingnya adalah dukungan cendekiawan melalui pengembangan penetrasi pasar dengan pemanfaatan online  marketing. Di samping berbagai terobosan lain, berpikir out of the  box,  menciptakan  linkage atau konektivitas ekonomi kreatif dengan pariwisata,  sebagai venue untuk proses produksi, distribusi sekaligus pemasarannya. 
Rekomendasi Asisten SKP Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Eddy C. Sugiarto, ini sudah lebih dari cukup untuk mengambil langkah tepat  bagi daerah (pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota) dalam menetapkan kebijakan pembangunan ekonomi wilayahnya berbasis ekonomi kreatif. Alasan klasik keterbatasan anggaran tak perlu lagi jadi “kambing hitam” karena ada program Corporate Social Responsibility (CSR) dari berbagai BUMN maupun perusahaan nasional, KUR, PPK, PNPM dan sebagainya. Sepanjang ada komitmen yang jelas dan tegas, bukan hanya kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo dan Denpasar saja yang mampu mengaplikasikan konsep pembangunan kewilayahan ini. Kota/ Kabupaten kecil seperti Kebumen justru dapat mengambil keuntungan maksimal dari peluang memajukan pembangunan ekonomi dengan pendekatan aktual ini. Apalagi jika dipadukan dengan konsep OVOP.

Sekadar gambaran kasar, perpaduan dua konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis aktivitas dalam rerangka ekonomi kreatif dan OVOP di Kabupaten Kebumen selain kerajinan anyaman pandan dapat juga dilakukan pada sentra industri kuliner lanthing sebagai jajanan khas. Keduanya berlokasi di Kecamatan Karanganyar dan secara sosiologis masyarakatnya cukup terbuka jika dibandingkan dengan kota Kebumen. Tetapkan wilayah ini sebagai basis pembangunan ekonomi dan jadikan wilayahnya sebagai “ajang adu prestasi” bagi para calon pemimpin wilayah.  Dalam banyak hal, Karanganyar lebih memenuhi syarat kualitatif dibanding 25 kecamatan lain. Tidak yakin ? Silakan kaji secara ilmiah, kalau perlu mendatangkan peneliti dari UGM, UI, ITB dan IPB. Lebih afdol jika melibatkan organisasi profesi semacam Hipando dsb. Dan bentangkan baliho raksasa: “Selamat Datang Ekonomi Kreatif dan OVOP di Kabupaten Kebumen”. Semoga membawa kejayaan bagi masyarakat Beriman. Amien 3x ya robbal ‘alamin. 

0 komentar:

Posting Komentar