Sabtu, 30 Maret 2013

OVOP & EKONOMI KREATIF


Ada dua gagasan dasar yang memiliki keserupaan dalam upaya mengembangkan potensi ekonomi masyarakat yakni OVOP dan Ekonomi Kreatif. Beberapa tulisan sebelumnya telah dibahas tentang OVOP. Kini giliran untuk mengupas faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan pembangunan kewilayahan yaitu ekonomi kreatif (Creative Economy) atau sering disebut juga dengan istilah Creative Industry). Kedua istilah  creative economy atau industry saya anggap sama maknanya.

Definisi ekonomi kreatif menurut Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekref) yaitu industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berdasar batasan ini jelas sekali orientasi ekonomi kreatif adalah individual, SDM kreatif. Mungkin ada pertanyaan, siapakah SDM kreatif itu ? Jawaban singkat : siapapun bisa dan mungkin melakukan aktivitas ekonomi kreatif baik karena punya latar pendidikan maupun berbakat kreatif.

Pertanyaan berikutnya, apakah orang yang punya latar pendidikan dan bakat kreatif mampu menyelenggarakan ekonomi kreatif? Jawaban singkat : tidak semua atau tidak selalu. Mengapa? Banyak orang kreatif, mampu menghadirkan karya-karya kreatif yang bernilai ekonomi tapi enggan atau tidak mampu menangkap peluang ekonomi yang ada dalam karya-karyanya. Berkait dengan peluang, kita akan melihat di sisi sebaliknya : tantangan dan/atau hambatan.

Dalam buku Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025 yang dipublikasikan (dapat diunduh gratis) oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi disebutkan bahwa di Amerika Serikat, Richard Florida menggolongkan SDM kreatif sebagai strata (sosial-pen) baru yang disebut creative class. Di era ekonomi baru ketika kreatifitas telah menjadi industri, pekerja kreatif bukan hanya dari sektor seni.  Di dalamnya ada juga  ilmu pengetahuan (sains), teknologi, manajemen dan lain-lain.  Ada pendidik, peneliti, insinyur, desainer, artis, musisi dam penghibur (entertainer). Mereka adalah orang-orang yang menghadirkan ide-ide baru, teknologi baru, konten baru serta orang-orang yang mengandalkan daya pikir dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
Berkembangnya kegiatan berbasis kreativitas di Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Asia berupa kegiatan sub kontrak (outsourcing) yang kian menunjukkan kematangannya membuat India dikenal sebagai negeri penghasil film (Bollywood) dan piranti lunak. Sementara itu Korea Selatan dan China dikenal sebagai produsen otomotif, barang-barang elektronik dan industri konten sejajar dengan Jepang yang telah mendului. Singkat cerita kita akan menuju satu pertanyaan: bagaimana dengan Indonesia ? Belum berkembang maksimal karena terkendala beberapa hal utama:
  1. Banyak SDM kreatif di bidang artistik yang belum memahami secara menyeluruh “isi” kreativitas di era industri kreatif.  Sehingga masyarakat awam menilai dunia artistis adalah ekslusif dan tidak merakyat  ( masalah orientasi dan apresiasi – pen).
  2. SDM kreatif di luar bidang artistik (sains dan teknologi) terlalu mikroskopik dalam melihat keprofesionalannya sehingga cenderung berpola pikir mekanistik dan kurang inovatif             ( masalah orientasi dan apresiasi – pen).
  3. SDM kreatif sering kekurangan sarana untuk melakukan eksperimen dan berekspresi sehingga hasil karyanya sering kurang kreatif dan inovatif (masalah apresiasi-pen).
Dari semua kendala yang dipetakan oleh lembaga negara yang berkompeten ini dapat diringkas ke dalam dua masalah utama yaitu orientasi (67%) dan apresiasi (100%). Masalah orientasi bergantung pada iklim atau trend setting. Sedangkan masalah apresiasi adalah masalah budaya. Solusi atas masalah orientasi adalah keperpihakan nyata penentu kebijakan publik yakni pemerintah dan DPR/DPRD.  Ilim politik saat ini tidak kondusif untuk menghadirkan iklim yang sehat tumbuh dan berkembangnya SDM kreatif. Sementara itu, masalah budaya bisa dipacu dengan menghadirkan iklim sehat dan reward yang merangsang orang untuk melakukannya dengan lebih baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam waktu yang sejalan.

Konsep OVOP dan Ekonomi Kreatif menempatkan pembangunan SDM sebagai faktor penting. Sasaran yang dituju pada konsep OVOP adalah produk lokal yang berorientasi global dengan pendekatan komunal. Sementara itu, dalam ekonomi kreatif pendekatan yang digunakan adalah individual. OVOP mengedepankan nilai tambah atas produk (beberapa produk) yang sudah ada, ekonomi kreatif mengharuskan pembaruan atas produk dan/atau jasa yang telah ada atau menghadirkan produk dan jasa yang benar-benar baru dalam suatu proses inovatif. Perbedaan keduanya bisa dijembatani dengan kebijakan politik pemerintah yang kondusif. Tumpang tindih dan “perebutan wewenang” menangani kedua potensi kreatif masyarakat justru akan mematikan jalan menuju Indonesia sejahtera, adil dan makmur (mungkin masih bersambung).

0 komentar:

Posting Komentar