Mengisi Ruang Kosong Di Rumah Bupati Kebumen - Bagian I

Dalam situs resmi Pemerintah Kabupaten Kebumen terdapat Ruang Diseminasi yang selama ini dibiarkan kosong. Ruang-ruang itu adalah 15 Sub Sektor dalam Ekonomi Kreatif,

KONSISTENSI KI ESSER KARTON

Slamet Riyanto yang biasa dipanggil Esser adalah satu seniman multi talenta yang konsisten memelihara sikap berkesenian melalui beragam karya kreatif. Satu diantaranya adalah wayang yang semua tokohnya dibuat dari kardus bekas kemasan dan limbah lainnya.

MENGINTIP RUANG KOSONG DI RUMAH BUPATI BAG..

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di sini.

MENGISI RUANG KOSONG DI RUMAH BUPATI KEBUMEN - BAGIAN III

OVOP Kerajinan Pandan adalah satu sub tema yang jadi Pemenang dalam lomba karya tulis ilmiah Riset Unggulan Daerah (RUD) tahun 2013. Sampai saat ini implementasi hasilnya belum jelas. Akankah nasibnya seperti Hipando yang terbengkelai ?

Tampilkan postingan dengan label aktivitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label aktivitas. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 April 2013

Bandung Creative City Forum (BCCF)



Bandung kota kreatif bukan hanya slogan dan baru dirintis. Sejak dulu, Kota Kembang yang sering disebut juga sebagai Paris van Java telah menunjukkan beragam aktivitas kreatif warganya. Di era 1980-an, jauh waktu sebelum ekonomi/ idustri kreatif digagas, Bandung sudah punya Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) dengan alm. Harry Rusli sebagai motornya dari rumahnya di Jl. Supratman sebagai markas besar. Dari grup musik eksperimental ini muncul satu single hit berjudul Nyamuk Malaria. Sementara itu, di ujung jalan itu ada beragam jenis kuliner khas yang menjadikan daerah Supratman Ujung sebagai pusat jajanan khas Bandung. Musik, seni pertunjukan dan kuliner adalah pilar ekonomi kreatif yang tengah menjadi trend baru ekonomi di banyak Negara.

Bandung Ibukota Kreativitas?

Reputasi Bandung sebagai destinasi wisata, lokasi perguruan tinggi terkemuka, pusat mode dan busana, serta kota yang melahirkan beragam band/kelompok musik progresif, telah berdampak pada tumbuhnya industri kreatif yang didukung oleh ketersediaan beragam sumber daya. Bandung jadi Ibukota Kreatif?
APA sih yang kurang dari Kota Bandung sebagai kota kreatif? Rasanya semua persyaratan untuk menjadi kota kreatif sudah dimilki Bandung. Sebut saja, hampir seluruh profesi kreatif bisa ditemukan di Bandung, sejak profesi yang high profil seperti arsitektur, clothing dan distro, pembuat program komputer, animator, hingga pemBuat film dan musik. Belum lagi iklim yang mendukung, dengan banyaknya pagelaran dan hajatan kreatif yang digelar dan sepanjang tahun. Untuk yang terakhir ini, para pegiat kreatif  Bandung sudah dua kali menggelar hajatan Helarfest, tahun 2008 dan 2009. Tahun 2010, ada Semarak.bdg yang digelar di sekitar kawasan Braga. Belum lagi gelaran seperti Bandung World Jazz Festival, dan Pasar Seni ITB. 

Situs Departemen Perdagangan menginformasikan industri kreatif menyumbang rata-rata 6,3% terhadap produk domestik bruto Indonesia selama periode 2002-2006. Suatu jumlah yang tidak main-main karena pada 2010, target kontribusi meningkat menjadi 7,9%. Setelah kekayaan sumber daya alam tidak lagi dapat menjadi penopang perekonomian nasional, ditambah sulitnya produk sektor usaha berbasis sumber daya alam lainnya bersaing dengan negara lain karena kalah kompetitif, maka masa depan Indonesia mungkin hanya bisa diselamatkan melalui ekonomi kreatif yang berbasis kekuatan ‘human capital’ yang kreatif dan inovatif.


Lantas, dari angka kontribusi 7,9 % ini, seberapa besar yang disumbang Bandung? Meski tidak tersedia data yang cukup memadai, namun diyakini Bandung berkontribusi dominan. Terlebih, karena para pegiat di Bandung juga sudah memiliki kesadaran untuk beserikat dan berorganisasi dalam payung Bandung Creative City Forum atau BCCF.
Bandung Creative City Forum (BCCF) yang berdiri sejak tahun 2008, beranggotakan para pegiat kreatif dari beragam latar belakang profesi antara lain arsitek, desainer, pekerja seni, pekerja musik, akademisi, praktisi & pekerja TI, pelaku usaha pariwisata, dan jurnalis.  Seluruh kegiatan BCCF bersifat nirlaba dan diperuntukan sepenuhnya untuk pengembangan kota Bandung dalam bidang dan karya kreatif. BBCF juga merupakan mitra strategis Pemerintah Kota Bandung dalam membawa Bandung sebagai kota kreatif dengan kompetensi internasional di benua Asia.

Tujuan untuk menjadikan Bandung sebagai ibukota kreatini bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Semangat ini, tentu tak boleh hanya menjadi monopoli BCCF, juga harus juga dimiliki oleh para pemangku kepentingan yang lain, diantaranya Pemerintah kota, pelaku usaha, dan tentu saja masyarakat. Nah, pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan asa menjadikan Bandung sebagai ibukota kreatif? Darimana upaya ini harus dimulai? Pembuatan regulasi yang mendukung dan mempermudah terciptanya iklim dan kondisi kreatif bisa menjadi langkah awal. Upaya ini kemudian harus diikuti oleh penyediaan berbagai saran dan infrastruktur pendukung yang memungkinkin aktifitas dan kegiatan kreatif tumbuh subur. Langkah ketiga adalah dengan mengedukasi warga, agar senantiasa memiliki kerangka berfikir kreatif dalam setiap aktifitas keseharian. Kreatifitas harus dipahami sebagai sebuah communal behaviour serta tidak berumah di awan, yang hanya bisa dijalankan dan dipraktekan oleh para pegiat kreatif. Dengan cara ini Kreatifitas diharapkan menjadi kebiasan dalam praktek dan aktifitas masyarakat.

Agar kegiatan dan aktifitas kreatif berdampak pada aktifitas ekonomi, perlu juga dipikirkan kehadiran dan akses pasar, sehingga produk-produk kreatif memiliki nilai ekonomi yang sebanding dengan upaya penciptaannya. Dalam hal ini, promosi dan pemasaran memegang peranan penting. Selama ini, para pegiat kreatif berjibaku dan berinovasi secara mandiri dalam kegiatan promosi dan pemasaran produk mereka. Tak hanya memikirkan inovasi produk, para pegiat kretaif juga dituntut kreatif dalam memasarkannya. Tak hanya di pasar lokal juga di mancanegara. Bahkan tanpa dukungan pemerintah pun, beberapa karya dan inovasi kreatif para pelaku industri kreatif sudah mampu menembuh pasar global.
Jadi, tunggu apa lagi. Ayo kita wujudkan Bandung sebagai Ibu kota kreatif tak hanya untuk Indonesia, juga di kawasan Asia.


Itulah segmen yang dikupas dalam BCCF Magz (majalah yang diterbitkan oleh BCCF) edisi Agustus 2012 dalam tajuk Bandung Ibukota Kreativitas! Geliat aktivitas kreatif warga Bandung seolah tak pernah berhenti dan kehabisan ide. Apalagi setelah ditetapkan sebagai pilot proyek Kota Kreatif di Asia Timur tahun 2008, proses kreatif warga Bandung semakin bergairah dan menyebar di seluruh penjuru. Jika di awal pertumbuhannya, pusat jeans Bandung ada di sekitar Jl. Tamim, kini telah menyebar ke Cihampelas, Cigolewah dan sebagainya. Begitu juga di sub sektor industri musik, lahir grup-grup baru dari berbagai aliran. Seolah-olah, kota ini harus mengungguli Jakarta dan Surabaya. Berbagai pagelaran musik berskala nasional maupun internasional di gelar di kota kembang ini. Tidak mengherankan jika Bandung menyebut dirinya sebagai Ibukota Kreativitas!.

Rasa hormat dan penghargaan tinggi memang layak diterima oleh BCCF sebagai media komunikasi dan tempat berkumpulnya berbagai komunitas kreatif kota Bandung dan sekitarnya. Semua sub sektor industri kreatif  yang diidentifikasi Kementrian Perdagangan (14) plus kuliner merapat dan menjadi bagian aktif forum ini.  BCCF berperan sangat besar dalam menjembatani kepentingan semua komunitas kreatif di Bandung dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Karena didalamnya ada komunitas perguruan tinggi yang dimotori oleh ITB terutama FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) serta Sekolah Bisnis ITB. Komunitas jalanan dan death metal yang biasanya tertutup, ternyata masuk di dalamnya.
BCCF bukan sekadar wadah komunitas kreatif yang berbadan hukum. Tapi banyak kajian ilmiah yang berkait dengan pengembangan sub-sub sektor ekonomi kreatif difasilitasi dan jadi keputusan politik dalam membuka dan menata ruang-ruang publik seperti taman kota, halte bus dan lain-lain. Sehingga fanatisme warga Bandung  kepada forum ini dinyatakan dalam beragam bentuk. Dari perkumpulan penggemar sepeda, lahir bisnis baru penyewaan sepeda di waktu-waktu tertentu. Belum yang terbilang prestisius semacam HelarFest yang telah berlangsung sejak 2008. Perkumpulan Komunitas Kreatif Kota Bandung yang lebih dikenal dengan Bandung Creative City Forum (“BCCF”) adalah organisasi lintas komunitas kreatif yang dideklarasikan dan didirikan oleh Perseorangan, Wirausaha Kreatif, Lembaga Nirlaba dan Komunitas di Kota Bandung pada tanggal 21 Desember 2008. BCCF sendiri pada awalnya adalah sebuah forum komunikasi informal untuk koordinasi dan komunikasi diantara komunitas kreatif di Bandung dalam rangka untuk menyelenggarakan kegiatan Helar Festival 2008 (“Helarfest 2008”)
Sebagai organisasi resmi, BCCF mempunyai maksud dan tujuan pada saat didirikannya BCCF sebagaimana tertuang di dalam Anggaran Dasar Pendirian BCCF, yaitu sebagai berikut:
1.      Menjadi wadah penguatan masyarakat madani (civil society) yang mandiri (independent) dan tidak terafiliasi baik langsung atau tidak langsung dengan Organisasi Masa atau Partai Politik manapun, baik ditingkat lokal atau nasional.
2.      Menjadi forum komunikasi, koordinasi dan usaha bagi perseorangan atau badan usaha atau komunitas kreatif di Bandung.
3.      Menjadi forum bersama untuk memberikan daya tawar lebih besar dalam penguatan ekonomi bagi para anggota, pelaku ekonomi/industri kreatif dan kota Bandung sekitarnya.
4.      Menambah daya dorong pengembangan dan pemberdayaan potensi kreatif warga Bandung dan sekitarnya.
5.      Memperkenalkan Bandung sebagai Kota Kreatif terdepan, baik di tingkat nasional, regional dan internasional.
6.      Menjalin kerjasama baik ditingkat Nasional atau Internasional untuk kepentingan pengembangan dan pembangunan ekonomi/industri kreatif di Bandung.
7.      Mengembangkan kreatifitas sebagai upaya untuk pemberdayaan ekonomi dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat sipil, kelestarian ekosistem dan penghargaan terhadap keaneka-ragaman budaya.


Sebagai organisasi lintas komunitas kreatif, BCCF ini didirikan oleh sebagian besar adalah orang-orang atau komunitas kreatif yang ada di kota Bandung atau yang bidang pekerjaan atau aktifitasnya bersinggungan sangat erat dengan dunia kreatifitas dan  inovasi. Para pendiri dan anggota BCCF di awal pembentukan: BDA+Design, Urbane, Adiwilaga & Co, Pixel People Project, LABO the Mori, Mahanagari, Sembilan Matahari,
Death Rock Star, Tegep Boots, Invictus, Common Room Foundation, Bandung Arsitektur Family (BAF), Bikers Brotherhood, KICK, Komunitas Sunda Underground, Bandung Death Metal Sindikat, Solidaritas Independen Bandung, Ujung Berung Rebel, Jendela Ide, Republic Entertainment, Saung Angklung Udjo, Pusat Studi Urban Desain (PSUD), SAPPK ITB, Seni Rupa ITB, PSDP ITB, Eco- Ethno, Galeri Seni Bandung, Open Labs dan sebagainya.
Pasca Helarfest 2009, muncul beberapa nama baru  seperti Komunitas Air Fotografi, Komunitas Origami Indonesia, Komunitas GANFFEST, INDDES ITB, Angklung Web Institute (AWI), Komunitas Picu Pacu, Komunitas Mahasiswa Seni Rupa ITB, Bandung Flower Day, Bandung Affairs dan sebagainya.

Sabtu, 30 Maret 2013

OVOP & EKONOMI KREATIF


Ada dua gagasan dasar yang memiliki keserupaan dalam upaya mengembangkan potensi ekonomi masyarakat yakni OVOP dan Ekonomi Kreatif. Beberapa tulisan sebelumnya telah dibahas tentang OVOP. Kini giliran untuk mengupas faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan pembangunan kewilayahan yaitu ekonomi kreatif (Creative Economy) atau sering disebut juga dengan istilah Creative Industry). Kedua istilah  creative economy atau industry saya anggap sama maknanya.

Definisi ekonomi kreatif menurut Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekref) yaitu industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berdasar batasan ini jelas sekali orientasi ekonomi kreatif adalah individual, SDM kreatif. Mungkin ada pertanyaan, siapakah SDM kreatif itu ? Jawaban singkat : siapapun bisa dan mungkin melakukan aktivitas ekonomi kreatif baik karena punya latar pendidikan maupun berbakat kreatif.

Pertanyaan berikutnya, apakah orang yang punya latar pendidikan dan bakat kreatif mampu menyelenggarakan ekonomi kreatif? Jawaban singkat : tidak semua atau tidak selalu. Mengapa? Banyak orang kreatif, mampu menghadirkan karya-karya kreatif yang bernilai ekonomi tapi enggan atau tidak mampu menangkap peluang ekonomi yang ada dalam karya-karyanya. Berkait dengan peluang, kita akan melihat di sisi sebaliknya : tantangan dan/atau hambatan.

Dalam buku Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025 yang dipublikasikan (dapat diunduh gratis) oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi disebutkan bahwa di Amerika Serikat, Richard Florida menggolongkan SDM kreatif sebagai strata (sosial-pen) baru yang disebut creative class. Di era ekonomi baru ketika kreatifitas telah menjadi industri, pekerja kreatif bukan hanya dari sektor seni.  Di dalamnya ada juga  ilmu pengetahuan (sains), teknologi, manajemen dan lain-lain.  Ada pendidik, peneliti, insinyur, desainer, artis, musisi dam penghibur (entertainer). Mereka adalah orang-orang yang menghadirkan ide-ide baru, teknologi baru, konten baru serta orang-orang yang mengandalkan daya pikir dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
Berkembangnya kegiatan berbasis kreativitas di Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Asia berupa kegiatan sub kontrak (outsourcing) yang kian menunjukkan kematangannya membuat India dikenal sebagai negeri penghasil film (Bollywood) dan piranti lunak. Sementara itu Korea Selatan dan China dikenal sebagai produsen otomotif, barang-barang elektronik dan industri konten sejajar dengan Jepang yang telah mendului. Singkat cerita kita akan menuju satu pertanyaan: bagaimana dengan Indonesia ? Belum berkembang maksimal karena terkendala beberapa hal utama:
  1. Banyak SDM kreatif di bidang artistik yang belum memahami secara menyeluruh “isi” kreativitas di era industri kreatif.  Sehingga masyarakat awam menilai dunia artistis adalah ekslusif dan tidak merakyat  ( masalah orientasi dan apresiasi – pen).
  2. SDM kreatif di luar bidang artistik (sains dan teknologi) terlalu mikroskopik dalam melihat keprofesionalannya sehingga cenderung berpola pikir mekanistik dan kurang inovatif             ( masalah orientasi dan apresiasi – pen).
  3. SDM kreatif sering kekurangan sarana untuk melakukan eksperimen dan berekspresi sehingga hasil karyanya sering kurang kreatif dan inovatif (masalah apresiasi-pen).
Dari semua kendala yang dipetakan oleh lembaga negara yang berkompeten ini dapat diringkas ke dalam dua masalah utama yaitu orientasi (67%) dan apresiasi (100%). Masalah orientasi bergantung pada iklim atau trend setting. Sedangkan masalah apresiasi adalah masalah budaya. Solusi atas masalah orientasi adalah keperpihakan nyata penentu kebijakan publik yakni pemerintah dan DPR/DPRD.  Ilim politik saat ini tidak kondusif untuk menghadirkan iklim yang sehat tumbuh dan berkembangnya SDM kreatif. Sementara itu, masalah budaya bisa dipacu dengan menghadirkan iklim sehat dan reward yang merangsang orang untuk melakukannya dengan lebih baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam waktu yang sejalan.

Konsep OVOP dan Ekonomi Kreatif menempatkan pembangunan SDM sebagai faktor penting. Sasaran yang dituju pada konsep OVOP adalah produk lokal yang berorientasi global dengan pendekatan komunal. Sementara itu, dalam ekonomi kreatif pendekatan yang digunakan adalah individual. OVOP mengedepankan nilai tambah atas produk (beberapa produk) yang sudah ada, ekonomi kreatif mengharuskan pembaruan atas produk dan/atau jasa yang telah ada atau menghadirkan produk dan jasa yang benar-benar baru dalam suatu proses inovatif. Perbedaan keduanya bisa dijembatani dengan kebijakan politik pemerintah yang kondusif. Tumpang tindih dan “perebutan wewenang” menangani kedua potensi kreatif masyarakat justru akan mematikan jalan menuju Indonesia sejahtera, adil dan makmur (mungkin masih bersambung).

Jumat, 29 Maret 2013

OVOP Indonesia ?



Mampukah koperasi menjadi fasilitator pengembangan OVOP di Indonesia? Bisa ya atau tidak. Jawaban pasti akan banyak bergantung pada masing-masing koperasi yang ditunjuk oleh Kementrian KUKM dalam menerjemahkan OVOP sehingga aplikasinya tepat sasaran.

OVOP di Indonesia
Sejauh ini, Indonesia belum memiliki konsep dasar OVOP seperti OTOP di Thailand.  Berikut adalah tentang OTOP.
Tujuan OTOP di Thailand:
  1. Untuk membangun sebuah sistem database yang komprehensif, yang mengakomodasi informasi bagi setiap Tambon di Thailand
  2. Untuk mempromosikan produk lokal dari setiap Tambon, dan untuk memfasilitasi prosedur jual belinya.
  3. Untuk membawa teknologi internet ke desa-desa dan ini adalah titik awal dari Proyek Internet Tambon
  4. Untuk  mendorong dan mempromosikan pariwisata di Thailand ke tingkat Tambon. Sehingga pendapatan akan dibagikan lebih besar kepada masyarakat pedesaan.
  5. Untuk membantu masyarakat pedesaan bertukar informasi, ide, dan meningkatkan komunikasi di berbagai Tambon.
Konsep OVOP sangat fleksibel dan integratif. Artinya, setiap daerah atau wilayah dapat menetapkan batasan dan tujuannya. Jika sasaran yang ingin dituju adalah skala nasional, pendekatan yang digunakan biasanya top-down terutama berkait dengan penyediaan anggaran. Kelemahan pendekatan ini, semangat kreatif yang menjadi acuan pokok konsep dasar OVOP bisa tereliminasi oleh proses birokrasi yang sangat panjang dan acapkali terjadi salah persepsi ketika harus diaplikasikan kepada kelompok sasaran. Dalam istilah komunikasi, pendekatan top-bottom sering menimbulkan denging (noise). Apalagi jika pejabat yang berkompeten menangani di daerah tidak senada dan seirama karena “beda selera” atau orientasi politik dengan yang di pusat. Lebih kacau lagi jika denging itu ditambah bisikan yang bernada provokatif.

Sementara itu, untuk mengaplikasikan konsep OVOP dengan pendekatan bottom up, kendala utama: kelangkaan inisiatif karena beragam sebab. Yang paling klasik tentu soal ketersediaan anggaran. Ibarat berdagang, harus ada modal finansial dulu sebelum melangkah. Inisiatif akan muncul, mengikuti aliran dananya. Dengan kata lain, jangan berharap ada inisiatif jika anggaran tidak tersedia. Kondisi seperti inilah yang sering dijumpai ketika ada usulan dari ”bawah”. Belum lagi masalah tumpang tindih kebijakan antara satu dan lain dinas atau kementrian.

Mengacu pada gagasan dasar OVOP, produk yang dihasilkan oleh masyarakat memiliki kedekatan erat dengan budaya lokal dan bernilai tambah tinggi. Kerajinan adalah representatif untuk hal ini. Setidaknya ada 2 atau dinas yang mungkin “merasa memiliki” yaitu dinas perindustrian/perdagangan, dinas koperasi dan UKM serta dinas Pariwisata, Budaya dan Ekonomi Kreatif. Bagi daerah tertentu, mungkin ada penggabungan SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) yang terkait dengan aktivitas produktif dan kreatif masyarakat seperti Kabupaten Kutai Kertanegara yang menggabungkannya jadi Disperindagkop (Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi & UKM). Semakin banyak dinas atau SKPD yang merasa berkepentingan dengan dengan pengembangan kegiatan OVOP sebenarnya semakin baik agar ada upaya maksimal untuk mewujudkannya.

Tetapi, dalam realita sering berbeda. Setiap SKPD punya kepentingan dan biasanya tidak mau digabungkan. Eksklusifitas kepentingan inilah jadi satu masalah serius bagi pengembangan aplikasi OVOP di banyak daerah, termasuk Kabupaten Kebumen. Karena itu, pada acara Temu Solusi OVOP Jawa Tengah 22 Februari 2013 lalu, Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya Manusia Kementrian Koperasi dan UKM tidak menyebut kerajinan anyaman pandan Kebumen sebagai bagian yang telah diprogramkan pada 2013. Selain carica di Wonosobo dan bordir di Kudus, gula kelapa di Cilacap, batik Solo, kain sarung goyor di Pemalang dan Klaten, tenun troso Jepara dan kerajinan ikan pari di Boyolali.

Inilah yang menjadi satu pertanyaan besar saya dan teman-teman di lapangan, mengapa ketika dalam peringatan Hari Koperasi 2012 di Kabupaten Kebumen, pemecahan rekor Muri atas nama Pemerintah Kabupaten Kebumen dibebankan kepada para perajin anyaman pandan ? Selanjutnya, mengapa aktivitas itu dipindahkan lokasinya dari area publik (alun-alun Kebumen) ke area pribadi (pabrik Dubexcraft) ? Pertanyaan paling krusial, mengapa untuk acara seakbar itu para perajin tidak diapresiasi secara layak ? Apakah hal ini yang jadi penyebab utama tidak masuknya kerajinan anyaman pandan Kabupaten Kebumen yang telah membawa Tasikmalaya, Jogja dan Bali menjadi pemasok utama ekspor kerajinan anyaman pandan ke dalam program OVOP??

Bagaimana mungkin mengaplikasikan satu program pembangunan yang diadopsi dari negara lain tanpa pemahaman memadai  tentang faktor kultural masyarakatnya? Jepang diakui sebagai negara maju yang masih kuat menjaga tradisi dan budaya masyarakatnya.  Sebagai negara yang  pernah dijajah Jepang, sedikit banyak, masyarakat Indonesia memahami kondisi itu sebagai nilai tambah kemajuan Jepang dibandingkan dengan Eropa maupun Amerika Serikat. Disiplin dan kerja keras adalah tradisi masyarakat Jepang yang tidak mudah diaplikasikan di Indonesia. Apalagi di masa sekarang, kebanyakan dari pemimpin formal di semua lini, tidak menjadikan kedua tradisi itu sebagai pemacu semangat yang menumbuh-kembangkan tantangan-tantangan kreatif sebagai realisasi prinsip dasar OVOP di bidang pengembangan sumber daya manusia.

Praktik yang lazim terjadi justru sebaliknya. Orang-orang yang memelihara prinsip kemandirian (sama dengan menjaga kemerdekaan) justru tidak disukai oleh para pengambil keputusan politik (baca sebagai pejabat publik)  karena akan mengganggu kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kekusutan ini diperparah dengan pola rekrutmen pejabat publik yang sarat praktik KKN dan semakin telanjang. Dan lebih kusut lagi karena semakin jarang ditemui pejabat publik mau bekerja sama dengan orang-orang  yang menjaga independensi  dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal.
OVOP adalah program idealistik dengan syarat-syarat yang sangat ketat.  Potensi kreatif masyarakat berbasis kultural dan bernilai tambah tinggi. Penghormatan atas hal itu adalah pengembangan aktivitas produktif tanpa merusak tradisi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat lokal. Modernisasi dimungkinkan pada sisi rancang bangun produk (product design) dengan pendekatan teknologi informasi. Sebelum hal ini diterapkan, masyarakat lokal harus dikondisikan dengan nilai-nilai budaya yang terdapat pada teknologi itu. Sehingga tidak menimbulkan cultural shock yang kemudian akan mematikan potensi budaya lokal secara sistematik.
Kemudahan mengakses informasi internet dari telepon selular yang telah menjangkau ke desa-desa di satu sisi menumbuhkan harapan baru bagi pengembangan potensi lokal. Di sisi lain, hal itu justru akan menjadi bencana kebudayaan ketika pengguna tidak memahami nilai-nilai kultural yang ada di dalamnya. Sangat mungkin terjadi perubahan pola pikir yang semula produktif menjadi konsumtif. Dalam koteks OVOP, potensi lokal yang seharusnya menjadi titik pijak dan pacu pengembangan aspek ekonomi dapat berbalik arah menjadi faktor perusak utama potensi itu. Di sinilah sisi menarik dari konsep aplikasi OVOP di berbagai negara. Kita (Indonesia) bisa mewujudkan gagasan brilian Mr.  Morihiko Hiramatsu dengan sikap hati-hati, tapi tanpa curiga. Jika Thailand mampu dengan OTOP, suatu saat mungkin kita akan meluncurkan ODOB (One District One Brand) atau justru sebaliknya, benar-benar jadi bodo ? (bersambung)