Tampilkan postingan dengan label busana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label busana. Tampilkan semua postingan
Rabu, 19 Februari 2014
Ketika Jakarta Ingin Seperti Harajuku
Rabu, Februari 19, 2014
Budaya, busana, cinta, Gerakan, Indonesia Kreatif, Industri/ Ekonomi Kreatif, kearifan lokal, produk lokal, ramah lingkungan
No comments
Harajuku adalah
satu pusat busana jalanan yang kini telah terkenal di seluruh penjuru jagad
raya ini. Di lokasi ini ada beragam butik, mal-mal yang memajang beragam busana
serta semua hal yang berkait dengan dunia busana. Harajuku adalah sebuah
kampung kecil yang berubah menjadi pusat busana dan budaya kaum muda pasca
Perang Dunia II. Adanya barak militer tentara Amerika Serikat di Bukit
Washington membawa dampak yang cukup besar bagi kaum muda setempat dalam
berbudaya Barat. Apalagi setelah penyelenggaraan Olimpiade 1964 yang menjadikan
Harajuku sebagai lokasi perkampungan atlet, proses asimilasi budaya semakin
kuat. Sejak berdirinya mal khusus busana pada 1978, Harajuku seolah memantapkan
posisinya sebagai pusat bisnis busana dunia dengan konsep jalanan-nya.
Indonesia Fashion Week (Pekan Busana Indonesia) yang akan
diselenggarakan di jakarta Convention Center 20 – 23 Pebruari 2014 adalah
sebuah ajang kreatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Sebagai motor
penggerak adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang didukung oleh
tiga kementerian terkait yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi
dan UMKM serta Kementerian Perindustrian yang mengusung tema besar Green
and Local Movement. Tema yang intinya mengajak seluruh lapisan
masyarakat untuk mencintai produk-produk lokal (buatan dalam negeri) dan yang
ramah lingkungan.
Indonesia Fashion Week mengajak warga Jakarta untuk ramai-ramai
memamerkan gaya lokal terbaiknya pada tanggal 16 Februari 2014 lalu melalui event Sunday Dress Up. Aksi yang
didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini telah berlangsung
pada saat Car Free Day di bundaran HI
hingga area Monas. Ratusan partisipan dari berbagai komunitas umum melebur
bersama desainer, model, pelaku media hingga murid sekolah mode. Mereka memakai
busana bernuansa konten lokal dan melakukan "demo" dengan membawa slogan-slogan
seputar local movement.
Dengan Local MovementLocal Movement, Indonesia Fashion Week akan semakin memperkuat rasa
cinta dan bangga pada negeri sendiri beserta produknya. Berbagai rangkaian
pra-event yang seru dan penuh energi segar seperti Sunday Dress Up ini
diharapkan dapat memperkenalkan "gaya Indonesia" kepada dunia. Sudah
saatnya kita bangga memakai produk yang menunjukan identitas diri kita.
Indonesia yang kaya akan material, detail hingga styling, punya ciri fashion
tersendiri yang berbeda dibandingkan dengan ciri fashion yang sudah ada di dunia.
Mungkin suatu hari nanti di Jakarta
akan ada area khusus seperti di Harajuku-Jepang, dimana semua orang dapat
"memamerkan" gaya lokalnya masing-masing. Lalu perlahan tapi pasti,
warga dunia akan menoleh pada "gaya lokal" Indonesia. Dan kita pun
dapat berkata dengan bangga,"Gaya ini adalah gaya lokal Indonesia!". Mimpi itu dimulai dari sekarang, dan kita
semua ikut andil dalam mewujudkannya!
Itulah obsesi Jakarta yang selama
ini telah menjadi barometer kehidupan di tanah air. Selain merupakan ibukota
negara dan pusat pemerintahan, Jakarta juga menjadi pusat beragam aktivitas
bisnis. Di bidang busana, selain Tanah Abang yang telah menjadi pusat bisnis
busana kelas menengah-bawah, banyak pusat busana yang ada di berbagai mal dan
pusat belanja kelas menengah-atas yang tersebar di seantero Jakarta.
Rumah-rumah mode dan toko-toko online yang menyediakan busana beragam keperluan
dan harga terus bertumbuh. Belum lagi sejumlah konveksi, modiste dan tailor.
Semua itu merupakan faktor pendukung yang sangat kuat bagi tumbuh dan
berkembangnya bisnis busana.
Dengan pengakuan Unesco bagi batik
tulis Indonesia sebagai warisan budaya dunia (world herritage) semakin menambah rasa percaya diri para perancang
dan pebisnis busana untuk terus memantapkan diri dan industri kreatif ini ke
posisi puncak. Pekan Busana Indonesia memang layak diapresiasi sebagai satu
jalan utama untuk menggapai asa Jakarta setara dengan atau lebih tinggi dari
Harajuku di Jepang. Diperluat dengan gerakan lokal dan ramah lingkungan (local and green movement) serta upaya
serius menumbuh-kembangkan Sentra-Sentra Kreatif Rakyat di berbagai daerah
tujuan wisata unggulan, bukan satu hal yang mustahil jika tak lama lagi ada
Harajuku ala Jakarta. Tentunya dengan satu harapan besar lain, situasi politik
dalam negeri cukup kondusif. Semoga.
Rabu, 12 Februari 2014
Kunjungan singkat di Basecamp Indonesia Kreatif
Rabu, Februari 12, 2014
batik, berdedikasi, busana, daerah tujuan wisata, Indonesia Kreatif, Industri/ Ekonomi Kreatif, kearifan lokal, keraifan budaya, orang muda, Sentra Kreatif Rakyat
No comments
![]() |
Ilustrasi: dialog budaya pada Gelar Panggung Teater Kebumen 2009. |
Sejak awal saya sudah memperkirakan bahwa pertemuan singkat sekitar satu jam yang semula bersifat formal akan berubah jadi diskusi dengan sejumlah "masalah besar". Bertemu dan berbicara dengan orang-orang muda hebat di basecamp Indonesia Kreatif jauh lebih menarik perhatian ketimbang "panas"-nya Jakarta.
Seperti biasa, sebelum memutuskan berangkat ke tempat yang belum dikenal, saya akan berusaha sekuat tenaga agar ada informasi awal sekaligus menguji teman-teman yang dimintai bantuan tentang aplikasi prosedur TMS (tracing and mailing service), sebuah teknik mencari dan menemukan anggota keluarga yang hilang dalam peristiwa bencana alam atau konflik bersenjata. Prosedur standar yang kini disebut RFL (refugee family linkage) . Entah apa penyebabnya, cara ini gagal dilaksanakan. Akhirnya saya putuskan untuk melakukan sendiri dan alhamdulillah berhasil. Termasuk menjejak informasi dari sebuah warung kopi tak jauh dari lokasi pencarian.
Basecamp Indonesia Kreatif menempati sebuah bangunan mini berlantai tiga di sekitar Kalibata Jakarta Selatan. Begitu masuk ruang berukuran sekitar 30m2, saya merasakan suasana yang sangat berbeda. Tata letak ruang di lantai pertama yang berfungsi ganda sebagai ruang tamu, ada satu meja resepsionis tergolong mini dan sederhana. Dua perempuan muda yang menerima kedatangan saya cukup ramah dan cekatan. Yang menarik dari layout kantor manajemen Indonesia Kreatif adalah latar belakang meja resepsionis yang berfungsi ganda sebagai rak perpustakaan mini, interior ruang dan penyekat ruang. Tanpa kesulitan, tamu dapat melihat seorang pria tengah asyik bekerja dari sela-sela buku di rak perpustakaan mini ini.
Sementara itu, di sebelah kanan ada dua ruang yang juga disekat sederhana tanpa kesan sebagai kantor yang banyak berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Persis di depan meja tamu yang juga sederhana, empat orang muda tengah memelototi laptop masing-masing. Dua diantaranya sambil menyantap makan siang mereka, dengan rona tengah berpikir serius. Seolah tak terganggu dengan suara diskusi yang cukup keras dari ruang sebelahnya.
Setelah disilakan naik ke lantai kedua, sekilas nampak ada suasana lain. Ada satu ruang terbuka yang diisi meja panjang berisi tak kurang dari 8 orang. Semua tengah menatap layar monitor yang disusun mirip ruang pengolahan data di sebuat perusahaan pialang saham. Tentu tanpa layar monitor besar yang biasa dipakai untuk menampilkan pergerakan transaksi. Suasananya familiar dan cukup serius.
Dari ruang yang ditunjuk resepsionis sebagai tempat tujuan kunjungan utama, saya melihat dua orang tengah berbincang. Satu berperawakan tinggi besar mengenakan baju lengan panjang bergaris dan memakai celana jins biru muda. Satu lagi adalah orang yang kemudian saya tahu sebagai penanggung jawab beragam pekerjaan kreatif yang dilakukan di Indonesia Kreatif. Namanya Agung Pasca Suseno (tahu dari email konfirmasi). Masih muda, sekitar 30-an tahun, cerdas dan berwawasan luas.
Sekitar sejam kami berbincang banyak hal. Mulai dari lokus Sentra Kreatif Rakyat sampai perubahan lembaga internasional yang menangani masalah ekonomi kreatif. Dari urusan batik sampai keinginannya melibatkan "para militan". Saya sebut perbincangan karena suasana yang terasa memang begitu. Intinya, Indonesia Kreatif adalah sebuah program berbasis kebudayaan (terutama mengangkat kearifan lokal) yang saat ini masih dikelola oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekref) RI yang prospektif dan banyak mengandung nilai idealisme kebangsaan di balik potensi besar ekonominya.
Dari suasana yang dihadirkan dan pengamatan sempit/ sekilas, saya sangat terkesan dengan mereka yang ada tengah bekerja di bidang pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Menyitir istilah akuntansi: "isi mengungguli bentuk", itulah sketsa yang nampak di depan mata kasat dan hati. Semoga suasana semacam ini tetap terpelihara dalam mengupayakan kemajuan bangsa Indonesia lewat beragam kegiatan ekonomi kreatif. Siapapun pemegang otoritas.