Tampilkan postingan dengan label Sentra Industri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sentra Industri. Tampilkan semua postingan
Selasa, 16 April 2013
Kartini Update Jaman Ekonomi Kreatif: Sosok Irma Suryanti
Selasa, April 16, 2013
Industri/ Ekonomi Kreatif, Inspiratif, Kerajinan Tangan, luar biasa, penyandang cacat polito, Profil Irma Suryanti, SCTV Award 2012, sederhana, Sentra Industri, teladan, ulet, wirausaha berprestasim
No comments
Sebagian besar orang
mungkin punya penilaian bahwa penyandang cacat adalah orang-orang
yang selalu terpinggirkan, peminta-minta, pelengkap kehidupan maupun
hal-hal yang serba kurang mengenakkan yang didapatkan. Hal itulah yang
selama ini dilihat dalam keseharian. Biasanya, begitu melihat seorang penyandang
cacat sikap kita jadi iba. Mereka adalah kaum yang layak dikasihani. Setidaknya
itu yang kita lihat di berbagai papan pengumuman di fasilitas umum semisal
kereta api. Mereka harus diberi perlakuan khusus! Itulah intinya. Karena itu, jika ada penyandang
cacat yang sukses besar itu mungkin hanya sebuah cerita di negeri dongeng.
Kerangka berpikir umum
semacam itu memang telah berlangsung dari waktu ke waktu dan menjadi maklum.
Tapi tidak buat seorang perempuan penyandang cacat tubuh karena menderita polio
sejak usia balita. Dialah Irma Suryanti,
seorang perajin kain perca yang meraih sukses bagi banyak orang.
Terutama para penyandang cacat, mantan buruh migran (TKI/TKW) dan orang-orang
yang dikategorikan sebagai penyandang masalah sosial (PSK, waria dsb). Sekitar
1.000 orang dari mereka ada beberapa yang telah mampu mandiri dan mengembangkan
kegiatan ekonomi kreatifnya. Juga 10.000 lebih orang normal secara fisik di berbagai kabupaten/kota se Indonesia mendapat
bimbingan teknis di bidang usaha sejenis maupun sebagai sub kontraktor. Irma
dan teman-teman bergabung dalam Mutiara Handicraft ini, dengan visi
dan misi yang sangat unik. Dari tempat tinggalnya di Desa Karangsari
Kecamatan Buayan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah Indonesia.
Nasihat yang
biasa Irma berikan kepada orang-orang yang mendapat bimbingannya adalah: mulai
dari hal sederhana. Berdasarkan pengalaman pribadi, dengan mengubah
limbah pabrik menjadi produk yang bernilai jual tinggi, sungguh sangat tepat
untuk sebuah impian memulai usaha yang nyaris tanpa modal. Hanya butuh keuletan,
keteladanan, keahlian, serta inovasi saja. Itulah sederet kalimat yang
dilontarkan Irma ketika memberi motivasi bagi warga binaan. Sederhana dalam
berpikir nampaknya mudah diucapkan, tapi sangat sulit diwujudkan. Karena ada
semacam keyakinan umum bahwa menjalankan sebuah kegiatan bisnis perlu bermodal
cukup atau besar.
Kesederhanaan
berpikir tidak berarti sama dengan jadoel oriented atau berorientasi ke
masa lalu. Seorang inovator biasa
menggunakan kerangka berpikir sederhana dalam menghasilkan produk maupun
jasa yang berkesan rumit dan luar biasa
karena melangkahi masanya. Bill Gates misalnya, mengembangkan konsep aplikasi
piranti lunaknya dari hobi bermain bridge. Demikian juga dengan Irma yang
menciptakan model-model produknya dari beragam permainan anak dan hal-hal
sederhana yang ada di lingkungan sekitarnya. Ia mengubah citra kesed yang selama ini berbentuk kotak menjadi beragam bentuk lucu
dan unik. Dari yang semula untuk alas penyaring kotoran sepatu serta alas
kaki lainnya, kini tampil sebagai bahan-bahan dekoratif dan fungsional.
“Ini pekerjaan yang sangat mudah
ibu-ibu. Siapapun bisa. Kita hanya butuh ketelatenan saja.” Ujar Irma yang
sudah keluar masuk perguruan tinggi untuk memberikan motivasi dan pembelajaran.
Menurut dia, setelah dari Unsoed ini, ia juga akan melakukan hal yang sama di
Institut Teknologi Bandung (ITB).
Irma Suyanti
merupakan sosok wanita penyandang cacat yang mampu melawan keterbatasan diri, ketidakadilan, pencibiran maupun pelecehan yang selama ini disandangkan
kepada sesamanya. Sejak tahun 1999, selepas menikah dengan Agus Priyanto
(seorang penyandang cacat juga), ia berusaha untuk melawan keterbatasannya
melalui usaha mandiri yang bermanfaat. Lambat-laun ia mampu membuktikan bahwa produk yang
dihasilkan benar-benar mampu menjawab kebutuhan pasar baik di dalam maupun luar
negeri.
Atas prestasi yang diraih dengan kesungguhan, sederhana,
ulet dan optimis Irma Suryanti mendapatkan sejumlah penghargaan. Diantaranya Wirausahawati Muda
Teladan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (2007), Perempuan Berprestasi 2008
dari Bupati Kebumen (2008), dan Penghargaan dari Jaiki Jepang, khusus untuk orang
cacat. Dan yang terakhir adalah penghargaan dari SCTV Award 2012. Mengubah sesuatu hal biasa menjadi luar biasa
adalah pekerjaan atau kebiasaan orang kreatif. Dan Irma layak dinobatkan
sebagai Kartini Update di Jaman Ekonomi Kreatif.
Saat menerima penghargaan dari Mepora Adiyaksa Dault
sederhana, ulet, teladan...
Selasa, 26 Maret 2013
Menguatkan Pilar Ekonomi Kreatif: Upaya Menuju Kawasan Industri Kreatif Bagian 1
Selasa, Maret 26, 2013
Gerakan, Industri/ Ekonomi Kreatif, kepedulian Pemerintah, Kuliner, Sentra Industri, Wacana
No comments
Seminar industri
kreatif yang diprakarsai oleh STIE dan Koperasi Alumni (Kopastie) YKPN
Yogyakarta Juni 2011 menarik kesimpulan bahwa media tradisional
radio, TV dan lainnya tetap menjadi media utama pemasang iklan. Dari beragam
kategori iklan, pangsa pasar terbesar
adalah kalangan remaja. Sementara itu, periklanan merupakan satu dari sejumlah
cabang industri kreatif yang berkembang versi Departemen Perdagangan RI. Jika
hal ini mewakili gambaran umum tentang “peta
buta” kondisi aktual industri kreatif Indonesia, maka perekonomian nasional
ke depan akan ditopang oleh sekitar 15 pilar industri kreatif (14 jenis versi
Dep. Pedagangan dan satu yang tengah diusulkan masuk kategori ini adalah
industri kuliner).
Industri kreatif biasanya
muncul dari lingkungan yang iklim kewirausahaannya berkembang cukup baik. Ada
tiga contoh wilayah yang mampu membuktikannya yaitu Bandung dengan industri
tata busananya. Yogyakarta dan Pulau Bali berkibar dengan kerajinan tangan. Ke tiga wilayah itu boleh dibilang merupakan
tujuan utama wisata lokal maupun manca negara. Industri kreatif (versi Departemen Perdagangan
RI) mengacu pada definisi: "Industries which have their origin in
individual creativity, skill & talent, and which have a potential for
wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual
property".
Jelas bahwa pelaku
industri kreatif adalah pewirausaha. Dan ini berkait erat dengan perilaku,
sikap atau budaya warga masyarakat.
Secara umum, pola
budaya masyarakat Indonesia yang cenderung komunal adalah tantangan dan
sekaligus peluang bagi pengembangan ekonomi kreatif. Di sisi lain, sikap kebanyakan
pemerintah daerah khususnya terhadap keberadaan aktivitas industri kreatif
masih setengah hati. Dua hal yang
menjadi tantangan ini dapat berubah sebagai peluang jika pelaku industri
kreatif bergabung dalam suatu wadah formal yang dikelola berdasarkan kaidah
manajemen dan profesionalitas. Bantuknya bisa koperasi atau perusahaan umum
(corporate). Idealnya mencakup bidang industri yang saling berkait. Misalnya
kerajinan, busana, desain, pasar seni dan barang antik, percetakan dan
penerbitan serta layanan komputer dan piranti lunak.
Kawasan atau sentra
industri kreatif ini berbeda dari konsep LIK (lingkungan industri kecil) yang
menjadi tempat berkumpulnya sejumlah kegiatan industri pada satu cakupan
wilayah fisik yang besar dan luas. Di dalam sentra industri kreatif, para
pelaku hanya berkumpul dalam memanfaatkan fasilitas tertentu semisal bengkel
kerja ( workshop ), laboratorium dan pusat pengembangan desain
yang biasanya cukup mahal untuk dimiliki sendiri. Atau ruang pamer ( showroom ) yang menyatu dengan ruang/
tempat untuk melakukan negosiasi dan transaksi bisnis berskala besar yang
dilengkapi dengan fasilitas penyediaan teknologi informasi berjaringan luas dan
sebagainya. Aktivitas produksi barang/jasa tetap dapat dilakukan di tempat
semula dan mandiri.
Berikut adalah
pengelompokan jenis industri kreatif versi Departemen Perdagangan RI:
1. Periklanan
(kreasi dan produksi iklan)
2. Arsitektur
(tata kota, pertamanan, konservasi budaya, lelang dan
sebagainya)
3. Pasar seni
dan barang antik
4. Kerajinan
5. Desain
(interior, eskterior, grafis dan sebagainya)
6. Tata
busana (fashion)
7. Film dan
fotografi
8. Permainan
kreatif
9. Musik
10. Seni
pertunjukan
11.
Penerbitan/percetakan
12. Layanan
komputer dan piranti lunak
13. Televisi
dan radio
14. Riset dan pengembangan.
Satu bidang yang
belum tercakup pada kategori di atas adalah kuliner. Sektor ini sangat elastis dengan
semakin meningkatnya pendapatan dan kesadaran atas pola makan/minum yang
memenuhi syarat-syarat tertentu: kesehatan, cita rasa, estetika dan sebagainya.
Senin, 25 Maret 2013
OBSESI(KU) UNTUK PERAJIN ANYAMAN PANDAN DI KEBUMEN
Senin, Maret 25, 2013
Aneka Kerajinan, Anyaman Pandan, Aset, Bu Ngatini, Grenggeng, Kerajinan Tangan, Obesesi, Profil, Sentra Industri, Seputar Hipando
3 comments
Mewujudkan cita-cita adalah wajib bagi manusia.
Karena
cita-cita itu merupakan motivasi untuk
maju dan berkembang. Tetapi proses pencapaiannya dapat berbeda antara satu
dan lain orang. Ada yang mulus, tersendat atau macet.
Kerajinan anyaman pandan di Desa Grenggeng Kecamatan
Karanganyar sudah saya kenal sejak tahun 1990. Saat saya dikenalkan oleh
almarhum Bapak Abdurrahman selaku petugas lapangan pada kantor Dinas
Perindustrian Kabupaten Kebumen. Secara garis besar, visi kami serupa yakni
mengembangkan industri rumah tangga ini sejajar
dengan Tasikmalaya (Rajapolah) yang selama ini merupakan konsumen terbesar complong
(hasil anyaman berbentuk silindrik) produksi perajin anyaman
Grenggeng melalui pengembangan desain dan pasar. Dari mas Rahman, kemudian saya
mengenal nama-nama pemuka di komunitas perajin yang saat itu bergabung dalam
wadah KUB (Kelompok Usaha Bersama) Pandansari. Yaitu Ibu Djumarnah, Ibu
Djamhari dan Ibu Maryani. Nama terakhir adalah orang yang sering berkomunikasi
dan saya ajak mengikuti pameran di beberapa tempat seperti Balai Kerajinan
Provinsi DKI Jakarta dan Jakarta Design Center.
Sebenarnya jalur saya berbeda dengan pandan. Sejak
ikut pelatihan manajemen dan desain kerajinan bambu yang diselenggarkan oleh
Yayasan Pengembangan Desain Kerajinan Indonesia (YPDKI) 1991, tentunya saya lebih fokus
di lingkungan kegiatan kerajinan bambu. Khususnya untuk furnitur. Setelah
melakukan kaderisasi, saya meninggalkan Kebumen untuk urusan pribadi dan
kembali akhir 1995. Tentu saja masih tetap memantau dan melakukan kunjungan
lapangan saat pulang kampung. Masa-masa itu masih sangat berat untuk
menggantungkan “nasib” pada kegiatan kerajinan (mungkin tidak berlaku untuk
yang lain).
Ketertarikan pada perkembangan kegiatan kerajinan
pandan di desa Grenggeng dan sekitarnya sebenarnya tidak pernah pudar. Karena
itu, ketika melihat ada potensi besar pada pribadi Yahya Mustofa yang saya
kenal saat melakukan aktivitas bersama pada program pengembangan Lembaga Ekonomi
Produktif Masyarakat Mandiri (LEPMM) di tengah tahun 1999 (salah satu pemicu
perkembangan BMT di Kabupaten Kebumen), saya dorong dia agar lebih fokus pada “nasib” industri kerajinan pandan meski
posisi formalnya lebih tinggi dari saya. Hampir semua pengetahuan dan
pengalaman saya berikan untuk menambah bekal dirinya. Dia bisa melakukan dan selanjutnya
mengangkat dirinya sebagai “tokoh” penting dalam industri kerajinan
di Kabupaten Kebumen. Bahkan tak tanggung, setelah menerima Danamon Award, ia
raih Upakarti untuk kategori kepeloporan pemuda dari Presiden RI. Sebagai
mentor, saya bangga mendengarnya (meski yang bersangkutan memberitahukannya
terlambat beberapa bulan). Dalam rentang waktu yang relatif pendek (sekitar 9
tahun), Yahya Mustofa melesat dalam bendera Dubexcraft jauh di depan para pegiat seperti ketiga orang yang
disebut di atas dan Ibu Ngatini yang setia menemani perjalanan dirinya selama ini.
Ibu Ngatini
Singkat cerita , ia (entah karena alasan apa) menemui dan mengajak saya agar aktif kembali dalam kegiatan pengembangan kerajinan anyaman. Kali ini tak tanggung lagi, berskala nasional di bawah nama Himpunan Perajin Anyaman Indonesia (Hipando) melalui Temu Karya Kerajinan Nasional di Hotel Maharani Jakarta 27-29 Oktober 2010. Dari sini, saya dapat lebih mengenal pribadi Ibu Ngatini sampai sekarang. Seperti biasa, saya menduga akan dijadikan trigger di arena itu. Ternyata benar, jabatan double selaku Sekretaris II di tingkat nasional dan Kordinator Provinsi Jawa Tengah. Bukan kebanggaan yang saya terima. Justru prihatin karena sampai saat ini belum mampu jadi jembatan bagi perajin anyaman di Jawa Tengah. Banyak kendala internal dan eksternal yang harus dihadapi. Berbagai upaya telah saya lakukan secara pribadi dan dorongan semangat dari Ibu Ngatini dan kawan-kawan agar Hipando bukan sekadar papan nama seperti organisasi sejenisnya.
Terlepas dari adanya kendala yang selalu dialami oleh
setiap orang dan organisasi, hal yang lebih penting adalah komitmen dan langkah
nyata. Pergulatan selama lebih dari dua tahun nampaknya akan membuahkan hasil
jika usulan kami (saya dan Edie “Bonggol Jagung” Juandi) kepada Kementrian Perindustrian
RI tentang program Pelatihan Industri Kerajinan Ekspor Berbahan Serat Alami
dapat direalisasikan segera. Kerajinan Anyaman Pandan adalah adalah satu
prioritas. Semoga.
Selasa, 03 Mei 2011
Woven Indonesian Association of Craft, A Developing Options
Selasa, Mei 03, 2011
Industri/ Ekonomi Kreatif, Kebumen, Kegiatan, Kerajinan Tangan, Sentra Industri, Seputar Hipando
No comments
Pandanus
Pandan is a class of plant monocot of the genus Pandanus. Most of its members is growing on the beaches of a tropical area. Members of this plant is characterized by an elongated leaves (such as palm leaves or grass), often jagged edges. The root are large and have akar tunjang that sustain this plant. Pandanus fruit bouquet arranged in a rounded shape, such as fruit durian. This plant size varies, ranging from 50cm up to 5 meters, even in Papua many pandanus to a height of 15 meters. The leaves are always green (evergreen, evergreen ), so some of them used as ornamental plants.
There are at least 600 species of pandanus in the whole world, among which are :
§ White Pandan ( Pandanus baphtisii )
§ African Pandan ( Pandanus pygmeus )
Pandan Bali , which is often used as ornamental plants, is not a member of Pandanus but Cordyline Australis .
Kebumen Regency in Central Java is one of the centers of production and development for woven pandanus in Indonesia. There are a land area about 15 hectares in the vicinity of the Thousand Mountains (Pegunungan Seribu) in the north which planted pandanus thorns as a raw material for making woven of pandanus. Around 10 000 people, mainly women, worked in some center of activities to create and develop crafting for woven pandanus.
Production Activitiy: woman domination
Beras Wutah
|
Bintangan
|
Dlereng
|
Es Lilin
|
Dlerengan
|
Kedelen
|
Kerton Warna
|
Kerton
|
Krejen
|
Mata Deruk
|
Menyan Kobar
|
Tampolan Besar
|
types of matting