Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan
Kamis, 18 April 2013
Wayang Kardus Ki Slamet Esser
Kamis, April 18, 2013
Aset, FoPSeT, GPT, Industri/ Ekonomi Kreatif, Inspiratif, Kebumen, keraifan budaya, Obesesi, Profil, sederhana, Selingan
No comments
Wayang sebagai
ekspresi budaya masyarakat, memiliki beragam penampilan. Dari yang tertua
(wayang purwa) yang direkayasa oleh
Sunan Kalijaga dari mitos Hindustan sampai Wayang Mikael karya seniman lukis
dan teater Kaji Habeb (UIN Jogja) pada dasarnya berfungsi sebagai media
komunikasi, pencerahan (dakwah) dan
hiburan. Banyak cara dilakukan oleh sang dalang dalam mengoptimalkan fungsi
wayang. Misalnya dengan memasukkan unsur pentatonik, tata lampu, komedi dan
sebagainya.
Wayang Kartun
Seperti
dalam wayang improvisasi pada umumnya, Wayang Kartun kreasi Ki Slamet Eser memiliki ide cerita yang
bersumber pada realitas kehidupan di lingkungan sekitarnya. Mengambil bentuk
kartun, ia memunculkan dua tokoh sentral : Panjul
dan Prentul. Panjul adalah sosok manusia kudisan, bodoh dan selalu menjadi
bahan cemooh orang-orang di sekelilingnya.
Punya semangat juang tinggi tapi hidup dalam himpitan kemiskinan
ekonomi. Singkatnya, Panjul adalah personifikasi pribadi Ki Slamet Eser.
Tokoh Utama: Panjul, Prenthul dan Sri Nyolowadi
Panembrama
Gaya mendalang
Sosok lain yang
menjadi tokoh sentral Prentul. Ada dua versi pendapat yang dimunculkan sang
dalang. Pertama, menggambarkan sosok birokrat di lingkungan kebudayaan yang
perlente, berpenampilan ala seniman tapi selalu berbicara layaknya pejabat yang
selalu mengaitkan kegiatan apresiasi budaya dengan keterbatasan anggaran dan
segala fasilitas pemerintah. Dalam hal ini, sosok Prentul diposisikan sebagai
tokoh antagonis. Versi kedua, Prentul selaku kurator. Pada pentas perdana di
ajang Gelar Panggung Teater I – 9 Januari 2009 di Gedung PGRI Kebumen Jawa
Tengah, kedua sosok ditampilkan secara bergantian tanpa batasan yang jelas.
Satu lagi bentuk
energi besar Ki Slamet Eser adalah kegigihan membangun komunitas budaya “Guyub Larak” yang hampir setiap saat akan
tampil di suatu event kesenian selalu berganti personal. Entah bagaimana
caranya, ia selalu mendapatkan darah baru dari beragam kalangan. Pelukis, pengamen
jalanan dan tukang parkir. Ada juga sosok mahasiswi yang kemudian diangkat
sebagai tokoh Sri Nyolowadi, pendendang lagu-lagu campursari yang digandrungi
oleh komunitas lokal.
Sebagai seniman
potensial, energi berkesenian Ki Slamet Eser sangat luar biasa. Karena
keluar-biasaannya, banyak orang yang menghindar darinya karena beragam alasan.
Ada yang menilai ide-idenya sangat “ liar “. Karena itu sangat sulit diikuti
arah tujuannya. Ada juga yang melihat penampilan keseharian yang kumuh, suka
memaksakan kehendak di balik “sosok memelas” dan beragam penolakan yang
menyebabkan dirinya sering terjerembab dalam kesendirian.
Apapaun
penilaian orang, Ki Slamet Eser tetap berjalan dengan langkah dan logika yang
dipahaminya. Seperti kebanyakan seniman eksentrik, ia terus mengeksplorasi
energi berkesenian dalam tubuhnya. Seolah tak peduli dengan sikap dan omongan
orang di sekitarnya, apapun yang terjadi, the
show must go on.
Kolaborasi
Pernah dimuat di sini
Senin, 25 Maret 2013
OBSESI(KU) UNTUK PERAJIN ANYAMAN PANDAN DI KEBUMEN
Senin, Maret 25, 2013
Aneka Kerajinan, Anyaman Pandan, Aset, Bu Ngatini, Grenggeng, Kerajinan Tangan, Obesesi, Profil, Sentra Industri, Seputar Hipando
3 comments
Mewujudkan cita-cita adalah wajib bagi manusia.
Karena
cita-cita itu merupakan motivasi untuk
maju dan berkembang. Tetapi proses pencapaiannya dapat berbeda antara satu
dan lain orang. Ada yang mulus, tersendat atau macet.
Kerajinan anyaman pandan di Desa Grenggeng Kecamatan
Karanganyar sudah saya kenal sejak tahun 1990. Saat saya dikenalkan oleh
almarhum Bapak Abdurrahman selaku petugas lapangan pada kantor Dinas
Perindustrian Kabupaten Kebumen. Secara garis besar, visi kami serupa yakni
mengembangkan industri rumah tangga ini sejajar
dengan Tasikmalaya (Rajapolah) yang selama ini merupakan konsumen terbesar complong
(hasil anyaman berbentuk silindrik) produksi perajin anyaman
Grenggeng melalui pengembangan desain dan pasar. Dari mas Rahman, kemudian saya
mengenal nama-nama pemuka di komunitas perajin yang saat itu bergabung dalam
wadah KUB (Kelompok Usaha Bersama) Pandansari. Yaitu Ibu Djumarnah, Ibu
Djamhari dan Ibu Maryani. Nama terakhir adalah orang yang sering berkomunikasi
dan saya ajak mengikuti pameran di beberapa tempat seperti Balai Kerajinan
Provinsi DKI Jakarta dan Jakarta Design Center.
Sebenarnya jalur saya berbeda dengan pandan. Sejak
ikut pelatihan manajemen dan desain kerajinan bambu yang diselenggarkan oleh
Yayasan Pengembangan Desain Kerajinan Indonesia (YPDKI) 1991, tentunya saya lebih fokus
di lingkungan kegiatan kerajinan bambu. Khususnya untuk furnitur. Setelah
melakukan kaderisasi, saya meninggalkan Kebumen untuk urusan pribadi dan
kembali akhir 1995. Tentu saja masih tetap memantau dan melakukan kunjungan
lapangan saat pulang kampung. Masa-masa itu masih sangat berat untuk
menggantungkan “nasib” pada kegiatan kerajinan (mungkin tidak berlaku untuk
yang lain).
Ketertarikan pada perkembangan kegiatan kerajinan
pandan di desa Grenggeng dan sekitarnya sebenarnya tidak pernah pudar. Karena
itu, ketika melihat ada potensi besar pada pribadi Yahya Mustofa yang saya
kenal saat melakukan aktivitas bersama pada program pengembangan Lembaga Ekonomi
Produktif Masyarakat Mandiri (LEPMM) di tengah tahun 1999 (salah satu pemicu
perkembangan BMT di Kabupaten Kebumen), saya dorong dia agar lebih fokus pada “nasib” industri kerajinan pandan meski
posisi formalnya lebih tinggi dari saya. Hampir semua pengetahuan dan
pengalaman saya berikan untuk menambah bekal dirinya. Dia bisa melakukan dan selanjutnya
mengangkat dirinya sebagai “tokoh” penting dalam industri kerajinan
di Kabupaten Kebumen. Bahkan tak tanggung, setelah menerima Danamon Award, ia
raih Upakarti untuk kategori kepeloporan pemuda dari Presiden RI. Sebagai
mentor, saya bangga mendengarnya (meski yang bersangkutan memberitahukannya
terlambat beberapa bulan). Dalam rentang waktu yang relatif pendek (sekitar 9
tahun), Yahya Mustofa melesat dalam bendera Dubexcraft jauh di depan para pegiat seperti ketiga orang yang
disebut di atas dan Ibu Ngatini yang setia menemani perjalanan dirinya selama ini.
Ibu Ngatini
Singkat cerita , ia (entah karena alasan apa) menemui dan mengajak saya agar aktif kembali dalam kegiatan pengembangan kerajinan anyaman. Kali ini tak tanggung lagi, berskala nasional di bawah nama Himpunan Perajin Anyaman Indonesia (Hipando) melalui Temu Karya Kerajinan Nasional di Hotel Maharani Jakarta 27-29 Oktober 2010. Dari sini, saya dapat lebih mengenal pribadi Ibu Ngatini sampai sekarang. Seperti biasa, saya menduga akan dijadikan trigger di arena itu. Ternyata benar, jabatan double selaku Sekretaris II di tingkat nasional dan Kordinator Provinsi Jawa Tengah. Bukan kebanggaan yang saya terima. Justru prihatin karena sampai saat ini belum mampu jadi jembatan bagi perajin anyaman di Jawa Tengah. Banyak kendala internal dan eksternal yang harus dihadapi. Berbagai upaya telah saya lakukan secara pribadi dan dorongan semangat dari Ibu Ngatini dan kawan-kawan agar Hipando bukan sekadar papan nama seperti organisasi sejenisnya.
Terlepas dari adanya kendala yang selalu dialami oleh
setiap orang dan organisasi, hal yang lebih penting adalah komitmen dan langkah
nyata. Pergulatan selama lebih dari dua tahun nampaknya akan membuahkan hasil
jika usulan kami (saya dan Edie “Bonggol Jagung” Juandi) kepada Kementrian Perindustrian
RI tentang program Pelatihan Industri Kerajinan Ekspor Berbahan Serat Alami
dapat direalisasikan segera. Kerajinan Anyaman Pandan adalah adalah satu
prioritas. Semoga.