Kamis, 14 Maret 2013

Pasar Senggol 2010: Sederhana Tapi Manis

Panggung utama

Pasar Senggol :Sekaten ala Kebumen yang Tengah Bersolek


Belajar dari pengalaman dan kegagalan di masa lampau adalah salah satu ciri manusia berfikiran maju. Pada pelaksanaan kegiatan yang sama di tahun 2010 ini, salah satu tokoh masyarakat di sekitar tempat berlangsungnya acara tahunan PASAR SENGGOL, Yahya Mustofa, mengungkapkan banyak hal tentang pengalaman menyelenggarakan acara ritual budaya masyarakat di sekitar Pasar Selang Kebumen. Mengikuti anjuran Bupati saat itu, H.M. Nashirudin Al Mansyur yang menginginkan penyelenggaraannya mirip atau sama dengan Sekaten Jogja ternyata berbuah kekecewaan yang berlarut. Semula ia kurang bergairah saat disinggung kemungkinan pelaksanaannya di tahun 2010.

Selain faktor keuangan yang mengalami difisit cukup besar, sampai saat ini Panitia Penyelenggara yang terdiri dari tokoh masyarakat dan perangkat desa di Selang, Adikarso dan sekitarnya belum mampu menuntaskan laporan kegiatan itu. Kendala lain adalah kegagalan menghadirkan band metal asal Bandung "Power Slave" kepada para penggemar musik rock Kebumen setelah dilarang tampil oleh aparat kepolisian justru di saat akhir waktu. Pelarangan di sela check sound punggawa band yang senafas dengan grup band kondang asal Inggris, LED ZEPPELIN. Artinya, ada " keanehan " di balik pelarangan yang berdalih keamanan. Singkat kata, misi mengangkat peristiwa budaya masyarakat lokal ini "gagal".

Karena itu, setelah kami berdiskusi luas dan menemukan satu titik temu pemikiran bahwa jika peristiwa budaya itu harus dilakukan dengan cara dan suasana yang berbeda. Perbedaan skala prioritas dan yang menggembirakan adalah keterlibatan komunitas pelaku seni budaya lokal yang aktif berproses dan memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan Pasar Senggol sebagai bagian dari upaya pengembangan potensi ekonomi kreatif di Kabupaten Kebumen. Khususnya dalam hal seni pertunjukan, periklanan, kerajinan, pasar seni dan barang antik serta layanan komputer dan piranti lunak dalam sebuah "kawasan industri kreatif" bernama PASAR SENGGOL 2010. Yang Muda Ceria, Yang Tua  Bahagia. Bukan sekadar all about Kebumen. Tapi Kebumen Ngethek alias It's Truly Kebumen ... yakin gologokin.

Obrolan tengah malam jelang pelaksanaan


Tradisi masyarakat Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW cukup beragam. Di tlatah (wilayah kuasa kerajaan) Mataram masyarakat mengenal Grebek Maulid yang disebut Sekaten. Jika perayaan di Ngayogyakarta Hadiningrat (Jogja) diawali dengan kirab pusaka keraton dan berakhir dengan keluarnya gunungan kembar simbol kemakmuran. Hal serupa terjadi juga di Solo. Bedanya, simbolisasi di Keraton Surakarta  adalah tradisi "angon kebo bule" Kyai dan Nyai Slamet. Meski kurang faham dengan makna dibalik nama pasangan kerbau itu dan peristiwa yang mengiringi, nampaknya keselamatan dan kemakmuran jua yang menjadi tujuan utama tradisi tersebut.


Peristiwa sama di Desa Selang dan sekitarnya disebut Pasar Senggol. Sejak berpuluh tahun yang lalu, masyarakat di sekitar pasar tradisional desa Selang semisal Adikarso, Kalirejo, Panjer, Kebumen dan sebagainya menjadikan acara itu sebagai peristiwa budaya lokal dalam rangkaian kegiatan memperingati hari besar keagamaan Islam. Dalam peristiwa itu, muncul nama tokoh utama : Kramaleksana. Dari penuturan Yahya Mustofa, sosok Kramaleksana adalah “pahlawan” yang membuka lahan bagi sejumlah masyarakat di wilayah itu. Dia adalah prajurit Mataram yang ditugaskan bersama sejumlah pasukan lain untuk memperluas wilayah kekuasaan. Di sisi inilah beragam cerita heroik dan mistis muncul sebagai bagian tradisi masyarakat tersebut. Karena itu, model perayaannya sangat mirip dengan gaya Jogja ketimbang Solo.

   

Layaknya sebuah pasar malam, ada berbagai kegiatan yang melingkupinya. Sebagai ajang bisnis para pedagang kaki lima, bakul jajanan, pedagang mainan anak dan sebagainya. Yang tidak pernah ketinggalan adalah sebagai ajang mencari jodoh, arena perebutan kekuasaan preman lokal dengan segala nuansanya dan beragam pernak-pernik kehidupan malam. Karena itu, dimensi religi yang seharusnya lebih menonjol dibanding tradisi yang belum dikaji dalam penelitian ilmiah acapkali terabaikan.


Yang menarik dari penyelenggaraan tahun ini adalah adanya sentuhan manajemen hiburan. Sebagai tokoh sentral, Yahya Mustofa yang tahun kemarin mendapat Upakarti Bidang Kepoloporan Pemuda, pemilik Dubex Handicraft dan sejumlah unit usaha lain serta Ketua Umum Hipando (Himpunan Perajin Anyaman Indonesia) mengundang orang yang bertugas khusus menangani manajemen hiburan tersebut. Tema pokok yang ditawarkan sebagaimana dituturkan Fauzan adalah “All about Kebumen”. Bila diterjemahkan bebas mungkin jadi “ pokoknya asal Kebumen”. Tema itulah yang menarik perhatian kami, Komunitas Ego. Ada kegairahan tersendiri di saat kami tengah mengangkat produk budaya lokal yang kian terpinggirkan seperti Kethoprak Pesisiran dan Rodat, Jamjaneng dsb. Sekaligus memberi pencerahan kepada orang-orang di dinas kebudayaan setempat yang mendefinisikan kesenian atau budaya lokal identik dengan irama yang rancak dan dalam suguhan jingkrak-jingkrak.

Lebih bergairah lagi ketika kami mendengar langsung dari Yahya Mustofa, bahwa panggung utama akan dilengkapi fasilitas multi media. Pucuk dicinta, ulam tiba. Angan kami mengembara ke desa Brecong Buluspesantren. Di sana ada tokoh seni kethoprak pesisiran, Bambang Kethoprak. Bergegas kami kunjungi beliau dan menawarkan kerja sama. Kolaborasi antara seni drama tradisional dan teater modern dengan kesepakatan bahwa soal teknis pentas akan dibicarakan khusus dengan ahlinya, Putut AS dan kawan-kawan Komunitas Ego yang selama ini berproses di Jogja dengan nama Sanggar Ilir atau Wayang Mika L mas Kaji Habeb.

          Bambang Kethoprak   

Entah sebab apa, kami mendapat informasi dari Seksi Hiburan, Gobeth Arief Budiman bahwa Polres Kebumen hanya memberi ijin 2 hari dari 6 hari yang dijadwalkan. Mendengar kabar itu, kami terkulai lemas. Setelah menunda sehari, akhirnya kami memberi tahu mas Bambang bahwa pentas kolaboratif di Pasar Senggol 2010 urung dilaksanakan karena alokasi waktunya sangat pendek. Hanya 30 menit. Panggung utama yang semula didesain knock down karena berada di persimpangan jalan Kutoarjo dan Cendrawasih harus dipindahkan ke lokasi aman di tanah kosong di belakang deretan tenda pedagang. Lengkap sudah kecewa kami kepada Panitia, khususnya Pemerintah Kabupaten Kebumen yang berkesan “ hanya mau mengunduh tanpa kesediaan mengunggah” atas potensi kreatifitas warga masyarakatnya. Apalagi ditambah penuturan Yahnya Mustofa, bahwa ketika mengajukan ijin kegiatan itu di Pemkab, timnya di – ping pong.


Meski pada akhirnya waktu penyelenggaraan yang dijadwalkan selama 6 hari menjadi nyata, tapi dengan persiapan yang hanya lima hari membuat gairah kami tak mudah dipulihkan. Dan karena undangan ditujukan kepada Panitia Gelar Panggung Teater (GPT) 2010, kami harus menindak-lanjuti undangan Panitia Pasar Senggol itu kepada seluruh pengisi acara yang ada di Kabupaten Kebumen.  Dari tujuh komunitas teater pengisi acara GPT 2010, hanya dua yang siap pentas yakni Teater Gerak dari STAINU dan Teater Putra Bangsa (Tetrasa) STIE Putra Bangsa Kebumen. Sebagai wujud tanggung jawab dan kepedulian, Komunitas Ego mendampingi proses latihan dan pentas Tetrasa di hari ke 2 penyelenggaraan Semarak Pasar Senggol 2010. Lega di balik kecewa mendalam. Sambil berjalan pulang kami meneriakkan “selesai sudah masa janji, selesai sudah tugas menanti “ seperti prajurit pulang dari medan laga. Sekedar melepas penat dari rasa yang kian menggumpal dari waktu ke waktu.

Sanggar Ilir - Imakta membuka kebuntuan berteater dengan 
GPT 2009 dan 2010
   

1 komentar: