Minggu, 27 April 2014

Konsistensi Ki Esser Karton

Permainan Engkrek,

Selepas mengantar Kang Edie Bonggol Jagung menemui Ibu Ngatini di Desa Grenggeng Kecamatan Karanganyar Kabupaten Kebumen yang agak gelap sehabis diguyur hujan lebat sore hari menjelang maghrib, saya minta diturunkan di depan Masjid Agung Kebumen. Malam Minggu 26 April 2014 ini kebetulan di alun-alun ada pertunjukan musik oleh satu produsen sepeda motor yang tengah mengenalkan produk barunya. Dari kejauhan, sekilas nampak dua penyanyi perempuan tengah melantunkan lagu dangdut yang digemari. Entah berapa tahun tak pernah merasakan malam Minggu di alun-alun. Kaki beralaskan sendal jepit ini terus melangkah dan sesekali mata melihat suasana. Muda-mudi bercengkerama, Ada yang sambil menikmati hidangan dan... masya Allah. Di depan banyak orang, sepasang remaja berangkulan. Satu realitas malam yang hanya pernah didengar, kini ada di depan mata telanjang, Sangat jelas! Inikah sudut kecil rona wajah kotaku ???

Sambil menarik nafas panjang dan memohon ampun kepada Sang Maha Kuasa, kakiku terus menelusur jalan beton yang dibuat saat Rustriningsih jadi Bupati Kebumen. Hati ini agak bergolak. Akh...sudahlah! Bukan aku tak peduli lagi, tapi badan terasa kian bergetar. Hari ini waktu tidurku memang tak lebih dari tiga jam. Bersiap diri mengemban misi Himpunan Perajin Anyaman Indonesia (Hipando) yang ditinggalkan begitu saja oleh dua pengurus terasnya, Ketua Umum dan Sekretaris Umum. 

Tak terasa hampir empat tahun berjibaku memelihara daya hidup organisasi bagi para perajin dan pengusaha kerajinan anyaman se Indonesia ini. Risiko menerima amanat para peserta Musyawarah Nasional pertama setelah Hipando dinyatakan resmi berdiri pada 11 September 2009 di Hotel Maharani Jakarta Selatan 27-29 Juni 2010. Entah ini sebuah akal bulus sang Ketua Umum yang pernah menjadi anak didikku  dan ingin membenturkan dengan Sekretaris Umum karena terbelit masalah pribadi ? Aku bukan pengecut seperti dua orang muda yang telah banyak menikmati kemudahan dan kenikmatan pribadi lewat Hipando. 


***

Kakiku tiba-tiba berhenti tepat di depan sebuah pikulan bambu berhias jajar wayang karton dan aneka permainan anak jaman dulu. Gundahku seketika lenyap dan berganti senyum gembira. Pasti pemiliknya si dalang wayang kardus, Slamet Esser, gumam hatiku nan riang. Tak salah lagi. Dia tengah memegang satu alat/ mainan yang saat kutanyakan namanya adalah Engkrek. Permainan ini mirip sekali dengan ringen, sejenis olahraga atau olah gerak di cabang olehraga senam, Pemain menggelantung di sebuah pipa yang ditopang dua tiang. Pesenam akan melakukan gerak artistik dengan sebagian atau seluruh alat gerak tubuhnya. 

Permainan ala pesenam serba alat di arena olimpiade atau invitasi tertentu ini dilakukan dengan menekan kedua sisi serupa tiang yang dibuat dari bahan bambu tali. Ketika kuminya memeragakan semua gerakan secara perlahan agar dapat ditangkap dengan baik oleh kamera digitas mini yang senantiasa menemani perjalananku diberbagai suasana yang bernilai artistik maupun dokumentatif dalam tas selempat kecil pemberian teman kuliah di Jogja waktu itu. Inilah sebagian diantaranya yang bisa ditampilkan.







Semua peragaan dilakukan dengan mantap dan suka cita oleh Ki Dalang Wayang Kardus, Slamet Esser. Dari ekspresi wajah seniman serba bisa ini, Engkrek benar-benar hidup, Sesekali senyum simpulku mengembang seiring kepiawaian penjual mainan anak jadul (jaman dulu) yang mendapat sentuhan artistiknya. (bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar