Jumat, 14 Februari 2014

Sentra Kreatif Rakyat : Ekonomi Kreatif vs OVOP?

Batik Tanuraksan di Kabupaten Kebumen: minim pengembangan dan kepedulian pemerintah lokal.

Tidak mudah memahami pola kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah saat ini karena terlalu banyaknya kepentingan politik sektarian yang ada di dalamnya. Menurut mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di sini, masalah industrialisasi di tanah Air tidak berubah sejak 40 tahun lalu yaitu ketidakmampuan melahirkan industri bahan baku yang tangguh. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi masalah defisit transaksi berjalan akibat melonjaknya impor bahan baku dan bahan antara. Tekanan terhadap akun lancar akan semakin berat mengingat pertumbuhan industri manufaktur hampir selalu lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, peranan industri manufaktur dalam produk domestik bruto melorot secara konsisten, dari titik tertingginya 29 persen pada 2001 menjadi hanya 23,7 persen tahun 2013 di sini.

Sentra Kreatif Rakyat adalah sebuah program implementatif dalam pola pembangunan ekonomi kreatif pada sub sektor kerajinan, khususnya batik, yang dikelola oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dari beberapa tulisan yang dapat saya kumpulan di sini,  di portal berita ekonomi ini,  dan di portal Indonesia Kreatif serta hasil diskusi singkat dengan penanggung-jawab program pada tulisan ini , saya berpikir keras untuk menolak prediksi orang kampung yang sok tahu. Tumpang tindih kebijakan atau kegamangan atas target waktu yang akan mengikuti masa akhir pemerintahan saat ini ?

Memang disebutkan bahwa tujuan program Sentra Kreatif Rakyat (SKR) adalah pelaku ekonomi kreatif yang dengan cukup mudah dapat ditafsirkan sebagai individunya sesuai karakter dasar ekonomi kreatif. Tetapi batasan ini jadi mengambang ketika menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pijakannya. Sementara itu, kita juga harus menyadari bahwa kearifan lokal adalah produk budaya yang dapat berwujud artefak semacam batik. Per definisi, Sentra Kreatif Rakyat adalah implementasi OVOP (One Village One Product). 

Masih dengan pengandaian orang kampung yang sok tahu, menilik beragam kriteria yang harus dipenuhi oleh Kordinator Wilayah SKR selaku penanggung-jawab program. Sistem yang akan dibangun menjadi semakin kabur jika hanya berdasarkan pemikiran bahwa di setiap wilayah pengembangannya telah ada atau akan diadakan kegiatan ekonomi kreatif berdasar asumsi tentang sebaran wilayah artefak budaya tadi sebagai upaya memperkuat pengakuan dunia bahwa batik tulis Indonesia adalah warisan dunia (world heritage). Bagaimanapun kuatnya idealisme yang melatarbelakangi munculnya program SKR. banyak tantangan yang harus mampu dijawab dengan benar baik. Diantaranya adalah:
  1. Apakah Ekonomi Kreatif merupakan pilihan utama strategi pembangunan ekonomi nasional yang tercantum dalam MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 2025? 
  2. Apakah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tetap dipertahankan pada pemerintahan hasil pemilu 2014 ?
  3. Apakah SKR tetap berlangsung dengan rerangka berpikir yang ada saat ini ?
  4. Atau, akankah program SKR  lebih menarik perhatian pemerintah dan para politisi di DPR ketimbang program lain semisal OVOP?
  5. Jika program SKR tetap dipertahankan, bagaimana konsekuensinya bagi pemerintah daerah yang lebih memilih program alternatif ?
  6. Dan lain-lain pertanyaan yang bermuara pada satu kegelisahan publik. Bagaimana situasi politik pasca pemilu 2014 ?
Dalam banyak hal, secara pribadi saya dapat memahami rerangka berpikir Program Sentra Kreatif Rakyat yang ada saat ini. Namun, sejarah politik kita yang masih bernuansa Ken Arok-isme sedikit banyak menumbuhkan sejumlah pertanyaan besar di atas. Kecuali ini dirancang dalam pola gerakan nasional yang mandiri dan berkelanjutan. Karena itu, implementasi Program SKR memang harus ditulang-punggungi oleh para militan yang berpikir cerdas dan nasionalis. Tanpa hal itu, jargon "ganti menteri, ganti kebijakan" akan menjadi sangat nyata.         

0 komentar:

Posting Komentar