Mewujudkan cita-cita adalah wajib bagi manusia.
Karena
cita-cita itu merupakan motivasi untuk
maju dan berkembang. Tetapi proses pencapaiannya dapat berbeda antara satu
dan lain orang. Ada yang mulus, tersendat atau macet.
Kerajinan anyaman pandan di Desa Grenggeng Kecamatan
Karanganyar sudah saya kenal sejak tahun 1990. Saat saya dikenalkan oleh
almarhum Bapak Abdurrahman selaku petugas lapangan pada kantor Dinas
Perindustrian Kabupaten Kebumen. Secara garis besar, visi kami serupa yakni
mengembangkan industri rumah tangga ini sejajar
dengan Tasikmalaya (Rajapolah) yang selama ini merupakan konsumen terbesar complong
(hasil anyaman berbentuk silindrik) produksi perajin anyaman
Grenggeng melalui pengembangan desain dan pasar. Dari mas Rahman, kemudian saya
mengenal nama-nama pemuka di komunitas perajin yang saat itu bergabung dalam
wadah KUB (Kelompok Usaha Bersama) Pandansari. Yaitu Ibu Djumarnah, Ibu
Djamhari dan Ibu Maryani. Nama terakhir adalah orang yang sering berkomunikasi
dan saya ajak mengikuti pameran di beberapa tempat seperti Balai Kerajinan
Provinsi DKI Jakarta dan Jakarta Design Center.
Sebenarnya jalur saya berbeda dengan pandan. Sejak
ikut pelatihan manajemen dan desain kerajinan bambu yang diselenggarkan oleh
Yayasan Pengembangan Desain Kerajinan Indonesia (YPDKI) 1991, tentunya saya lebih fokus
di lingkungan kegiatan kerajinan bambu. Khususnya untuk furnitur. Setelah
melakukan kaderisasi, saya meninggalkan Kebumen untuk urusan pribadi dan
kembali akhir 1995. Tentu saja masih tetap memantau dan melakukan kunjungan
lapangan saat pulang kampung. Masa-masa itu masih sangat berat untuk
menggantungkan “nasib” pada kegiatan kerajinan (mungkin tidak berlaku untuk
yang lain).
Ketertarikan pada perkembangan kegiatan kerajinan
pandan di desa Grenggeng dan sekitarnya sebenarnya tidak pernah pudar. Karena
itu, ketika melihat ada potensi besar pada pribadi Yahya Mustofa yang saya
kenal saat melakukan aktivitas bersama pada program pengembangan Lembaga Ekonomi
Produktif Masyarakat Mandiri (LEPMM) di tengah tahun 1999 (salah satu pemicu
perkembangan BMT di Kabupaten Kebumen), saya dorong dia agar lebih fokus pada “nasib” industri kerajinan pandan meski
posisi formalnya lebih tinggi dari saya. Hampir semua pengetahuan dan
pengalaman saya berikan untuk menambah bekal dirinya. Dia bisa melakukan dan selanjutnya
mengangkat dirinya sebagai “tokoh” penting dalam industri kerajinan
di Kabupaten Kebumen. Bahkan tak tanggung, setelah menerima Danamon Award, ia
raih Upakarti untuk kategori kepeloporan pemuda dari Presiden RI. Sebagai
mentor, saya bangga mendengarnya (meski yang bersangkutan memberitahukannya
terlambat beberapa bulan). Dalam rentang waktu yang relatif pendek (sekitar 9
tahun), Yahya Mustofa melesat dalam bendera Dubexcraft jauh di depan para pegiat seperti ketiga orang yang
disebut di atas dan Ibu Ngatini yang setia menemani perjalanan dirinya selama ini.
Ibu Ngatini
Singkat cerita , ia (entah karena alasan apa) menemui dan mengajak saya agar aktif kembali dalam kegiatan pengembangan kerajinan anyaman. Kali ini tak tanggung lagi, berskala nasional di bawah nama Himpunan Perajin Anyaman Indonesia (Hipando) melalui Temu Karya Kerajinan Nasional di Hotel Maharani Jakarta 27-29 Oktober 2010. Dari sini, saya dapat lebih mengenal pribadi Ibu Ngatini sampai sekarang. Seperti biasa, saya menduga akan dijadikan trigger di arena itu. Ternyata benar, jabatan double selaku Sekretaris II di tingkat nasional dan Kordinator Provinsi Jawa Tengah. Bukan kebanggaan yang saya terima. Justru prihatin karena sampai saat ini belum mampu jadi jembatan bagi perajin anyaman di Jawa Tengah. Banyak kendala internal dan eksternal yang harus dihadapi. Berbagai upaya telah saya lakukan secara pribadi dan dorongan semangat dari Ibu Ngatini dan kawan-kawan agar Hipando bukan sekadar papan nama seperti organisasi sejenisnya.
Terlepas dari adanya kendala yang selalu dialami oleh
setiap orang dan organisasi, hal yang lebih penting adalah komitmen dan langkah
nyata. Pergulatan selama lebih dari dua tahun nampaknya akan membuahkan hasil
jika usulan kami (saya dan Edie “Bonggol Jagung” Juandi) kepada Kementrian Perindustrian
RI tentang program Pelatihan Industri Kerajinan Ekspor Berbahan Serat Alami
dapat direalisasikan segera. Kerajinan Anyaman Pandan adalah adalah satu
prioritas. Semoga.
coba cek penerima upakarti pada jaman bapak soeharto menjabat sebagai presiden, yg menerima upakarti kerajinan anyaman pandan asal desa grenggeng itu djumarnah, dia mengajarkan kerajinan anyaman pandan ini sampai ke pelosok pulau pada masanya.
BalasHapuscoba cek penerima upakarti pada jaman bapak soeharto menjabat sebagai presiden, yg menerima upakarti kerajinan anyaman pandan asal desa grenggeng itu djumarnah, dia mengajarkan kerajinan anyaman pandan ini sampai ke pelosok pulau pada masanya.
BalasHapusAda beberapa orang yang mendapatkan penghargaan itu. Selain Bu Djumarnah yang sangat saya kenal, juga Yahya untuk kategori pemuda pelopor. Bu Djumarnah masih aktif, meski tak sekuat dulu. Terakhir ketemu 2017 saat mendampingi peneliti dari Undip, Bu Ida yang saya titipkan kepada beliau dan Bu Ngatini. Bahkan saya sempat berkomunikasi dengan Bu Maryani yang saat saya aktif mendampingi KUB Pandansari Grenggeng jadi Ketua. Sampai sekarang saya masih memantau kegiatan pengembangan anyaman pandan di Karanggayam dan Gombong, selain Grenggeng tentunya. Terima kasih atas info dan atensinya.
BalasHapus