Ilustrasi: dialog budaya pada Gelar Panggung Teater Kebumen 2009. |
Sejak awal saya sudah memperkirakan bahwa pertemuan singkat sekitar satu jam yang semula bersifat formal akan berubah jadi diskusi dengan sejumlah "masalah besar". Bertemu dan berbicara dengan orang-orang muda hebat di basecamp Indonesia Kreatif jauh lebih menarik perhatian ketimbang "panas"-nya Jakarta.
Seperti biasa, sebelum memutuskan berangkat ke tempat yang belum dikenal, saya akan berusaha sekuat tenaga agar ada informasi awal sekaligus menguji teman-teman yang dimintai bantuan tentang aplikasi prosedur TMS (tracing and mailing service), sebuah teknik mencari dan menemukan anggota keluarga yang hilang dalam peristiwa bencana alam atau konflik bersenjata. Prosedur standar yang kini disebut RFL (refugee family linkage) . Entah apa penyebabnya, cara ini gagal dilaksanakan. Akhirnya saya putuskan untuk melakukan sendiri dan alhamdulillah berhasil. Termasuk menjejak informasi dari sebuah warung kopi tak jauh dari lokasi pencarian.
Basecamp Indonesia Kreatif menempati sebuah bangunan mini berlantai tiga di sekitar Kalibata Jakarta Selatan. Begitu masuk ruang berukuran sekitar 30m2, saya merasakan suasana yang sangat berbeda. Tata letak ruang di lantai pertama yang berfungsi ganda sebagai ruang tamu, ada satu meja resepsionis tergolong mini dan sederhana. Dua perempuan muda yang menerima kedatangan saya cukup ramah dan cekatan. Yang menarik dari layout kantor manajemen Indonesia Kreatif adalah latar belakang meja resepsionis yang berfungsi ganda sebagai rak perpustakaan mini, interior ruang dan penyekat ruang. Tanpa kesulitan, tamu dapat melihat seorang pria tengah asyik bekerja dari sela-sela buku di rak perpustakaan mini ini.
Sementara itu, di sebelah kanan ada dua ruang yang juga disekat sederhana tanpa kesan sebagai kantor yang banyak berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Persis di depan meja tamu yang juga sederhana, empat orang muda tengah memelototi laptop masing-masing. Dua diantaranya sambil menyantap makan siang mereka, dengan rona tengah berpikir serius. Seolah tak terganggu dengan suara diskusi yang cukup keras dari ruang sebelahnya.
Setelah disilakan naik ke lantai kedua, sekilas nampak ada suasana lain. Ada satu ruang terbuka yang diisi meja panjang berisi tak kurang dari 8 orang. Semua tengah menatap layar monitor yang disusun mirip ruang pengolahan data di sebuat perusahaan pialang saham. Tentu tanpa layar monitor besar yang biasa dipakai untuk menampilkan pergerakan transaksi. Suasananya familiar dan cukup serius.
Dari ruang yang ditunjuk resepsionis sebagai tempat tujuan kunjungan utama, saya melihat dua orang tengah berbincang. Satu berperawakan tinggi besar mengenakan baju lengan panjang bergaris dan memakai celana jins biru muda. Satu lagi adalah orang yang kemudian saya tahu sebagai penanggung jawab beragam pekerjaan kreatif yang dilakukan di Indonesia Kreatif. Namanya Agung Pasca Suseno (tahu dari email konfirmasi). Masih muda, sekitar 30-an tahun, cerdas dan berwawasan luas.
Sekitar sejam kami berbincang banyak hal. Mulai dari lokus Sentra Kreatif Rakyat sampai perubahan lembaga internasional yang menangani masalah ekonomi kreatif. Dari urusan batik sampai keinginannya melibatkan "para militan". Saya sebut perbincangan karena suasana yang terasa memang begitu. Intinya, Indonesia Kreatif adalah sebuah program berbasis kebudayaan (terutama mengangkat kearifan lokal) yang saat ini masih dikelola oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekref) RI yang prospektif dan banyak mengandung nilai idealisme kebangsaan di balik potensi besar ekonominya.
Dari suasana yang dihadirkan dan pengamatan sempit/ sekilas, saya sangat terkesan dengan mereka yang ada tengah bekerja di bidang pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Menyitir istilah akuntansi: "isi mengungguli bentuk", itulah sketsa yang nampak di depan mata kasat dan hati. Semoga suasana semacam ini tetap terpelihara dalam mengupayakan kemajuan bangsa Indonesia lewat beragam kegiatan ekonomi kreatif. Siapapun pemegang otoritas.
0 komentar:
Posting Komentar