Panggung utama
Pasar Senggol :Sekaten ala Kebumen yang Tengah Bersolek
Belajar dari pengalaman dan kegagalan di
masa lampau adalah salah satu ciri manusia berfikiran maju. Pada pelaksanaan
kegiatan yang sama di tahun 2010 ini, salah satu tokoh masyarakat di sekitar
tempat berlangsungnya acara tahunan PASAR SENGGOL, Yahya Mustofa, mengungkapkan
banyak hal tentang pengalaman menyelenggarakan acara ritual budaya masyarakat
di sekitar Pasar Selang Kebumen. Mengikuti anjuran Bupati saat itu, H.M.
Nashirudin Al Mansyur yang menginginkan penyelenggaraannya mirip atau sama
dengan Sekaten Jogja ternyata berbuah kekecewaan yang berlarut. Semula ia
kurang bergairah saat disinggung kemungkinan pelaksanaannya di tahun 2010.
Selain faktor
keuangan yang mengalami difisit cukup besar, sampai saat ini Panitia
Penyelenggara yang terdiri dari tokoh masyarakat dan perangkat desa di Selang,
Adikarso dan sekitarnya belum mampu menuntaskan laporan kegiatan itu. Kendala
lain adalah kegagalan menghadirkan band metal asal Bandung "Power Slave"
kepada para penggemar musik rock Kebumen setelah dilarang tampil oleh aparat
kepolisian justru di saat akhir waktu. Pelarangan di sela check sound punggawa
band yang senafas dengan grup band kondang asal Inggris, LED ZEPPELIN. Artinya,
ada " keanehan "
di balik pelarangan yang berdalih keamanan. Singkat kata, misi mengangkat
peristiwa budaya masyarakat lokal ini "gagal".
Karena itu,
setelah kami berdiskusi luas dan menemukan satu titik temu pemikiran bahwa jika
peristiwa budaya itu harus dilakukan dengan cara dan suasana yang berbeda.
Perbedaan skala prioritas dan yang menggembirakan adalah keterlibatan komunitas
pelaku seni budaya lokal yang aktif berproses dan memiliki komitmen kuat untuk
mengembangkan Pasar Senggol sebagai bagian dari upaya pengembangan potensi
ekonomi kreatif di Kabupaten Kebumen. Khususnya dalam hal seni pertunjukan,
periklanan, kerajinan, pasar seni dan barang antik serta layanan komputer dan
piranti lunak dalam sebuah "kawasan industri kreatif" bernama PASAR
SENGGOL 2010. Yang Muda Ceria,
Yang Tua Bahagia. Bukan
sekadar all about Kebumen.
Tapi Kebumen Ngethek alias It's Truly Kebumen ... yakin
gologokin.
Obrolan tengah malam jelang pelaksanaan
Tradisi masyarakat Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dalam
memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW cukup beragam. Di tlatah (wilayah kuasa
kerajaan) Mataram masyarakat mengenal Grebek Maulid yang disebut Sekaten. Jika
perayaan di Ngayogyakarta Hadiningrat (Jogja) diawali dengan kirab pusaka
keraton dan berakhir dengan keluarnya gunungan kembar simbol kemakmuran. Hal
serupa terjadi juga di Solo. Bedanya, simbolisasi di Keraton Surakarta
adalah tradisi "angon kebo bule" Kyai dan Nyai Slamet. Meski kurang
faham dengan makna dibalik nama pasangan kerbau itu dan peristiwa yang
mengiringi, nampaknya keselamatan dan kemakmuran jua yang menjadi tujuan utama
tradisi tersebut.
Peristiwa sama di Desa Selang dan sekitarnya disebut Pasar
Senggol. Sejak berpuluh tahun yang lalu, masyarakat di sekitar pasar
tradisional desa Selang semisal Adikarso, Kalirejo, Panjer, Kebumen dan
sebagainya menjadikan acara itu sebagai peristiwa budaya lokal dalam rangkaian
kegiatan memperingati hari besar keagamaan Islam. Dalam peristiwa itu, muncul
nama tokoh utama : Kramaleksana.
Dari penuturan Yahya Mustofa, sosok Kramaleksana adalah “pahlawan” yang membuka
lahan bagi sejumlah masyarakat di wilayah itu. Dia adalah prajurit Mataram yang
ditugaskan bersama sejumlah pasukan lain untuk memperluas wilayah kekuasaan. Di
sisi inilah beragam cerita heroik dan mistis muncul sebagai bagian tradisi
masyarakat tersebut. Karena itu, model perayaannya sangat mirip dengan gaya
Jogja ketimbang Solo.
Layaknya sebuah pasar malam, ada berbagai kegiatan yang
melingkupinya. Sebagai ajang bisnis para pedagang kaki lima, bakul jajanan,
pedagang mainan anak dan sebagainya. Yang tidak pernah ketinggalan adalah
sebagai ajang mencari jodoh, arena perebutan kekuasaan preman lokal dengan segala
nuansanya dan beragam pernak-pernik kehidupan malam. Karena itu, dimensi religi
yang seharusnya lebih menonjol dibanding tradisi yang belum dikaji dalam
penelitian ilmiah acapkali terabaikan.
Yang menarik dari penyelenggaraan tahun ini adalah adanya
sentuhan manajemen hiburan. Sebagai tokoh sentral, Yahya Mustofa yang tahun
kemarin mendapat Upakarti Bidang Kepoloporan Pemuda, pemilik Dubex Handicraft
dan sejumlah unit usaha lain serta Ketua Umum Hipando (Himpunan Perajin Anyaman
Indonesia) mengundang orang yang bertugas khusus menangani manajemen hiburan
tersebut. Tema pokok yang ditawarkan sebagaimana dituturkan Fauzan adalah “All about Kebumen”.
Bila diterjemahkan bebas mungkin jadi “ pokoknya asal
Kebumen”. Tema itulah yang menarik perhatian kami, Komunitas Ego. Ada
kegairahan tersendiri di saat kami tengah mengangkat produk budaya lokal yang
kian terpinggirkan seperti Kethoprak Pesisiran dan Rodat, Jamjaneng dsb. Sekaligus
memberi pencerahan kepada orang-orang di dinas kebudayaan setempat yang
mendefinisikan kesenian atau budaya lokal identik
dengan irama yang rancak dan dalam suguhan jingkrak-jingkrak.
Lebih bergairah lagi ketika kami mendengar langsung dari
Yahya Mustofa, bahwa panggung utama akan dilengkapi fasilitas multi media.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Angan kami mengembara ke desa Brecong Buluspesantren.
Di sana ada tokoh seni kethoprak pesisiran, Bambang Kethoprak.
Bergegas kami kunjungi beliau dan menawarkan kerja sama. Kolaborasi antara seni
drama tradisional dan teater modern dengan kesepakatan bahwa soal teknis pentas
akan dibicarakan khusus dengan ahlinya, Putut AS dan kawan-kawan Komunitas Ego yang
selama ini berproses di Jogja dengan nama Sanggar Ilir atau Wayang Mika L mas
Kaji Habeb.
Bambang Kethoprak
Entah sebab
apa, kami mendapat informasi dari Seksi Hiburan, Gobeth Arief Budiman bahwa
Polres Kebumen hanya memberi ijin 2 hari dari 6 hari yang dijadwalkan.
Mendengar kabar itu, kami terkulai lemas. Setelah menunda sehari, akhirnya kami
memberi tahu mas Bambang bahwa pentas kolaboratif di Pasar Senggol 2010 urung
dilaksanakan karena alokasi waktunya sangat pendek. Hanya 30 menit. Panggung
utama yang semula didesain knock down karena berada di persimpangan
jalan Kutoarjo dan Cendrawasih harus dipindahkan ke lokasi aman di tanah kosong
di belakang deretan tenda pedagang. Lengkap sudah kecewa kami kepada Panitia,
khususnya Pemerintah Kabupaten Kebumen yang berkesan “ hanya mau mengunduh
tanpa kesediaan mengunggah” atas
potensi kreatifitas warga masyarakatnya. Apalagi ditambah penuturan Yahnya
Mustofa, bahwa ketika mengajukan ijin kegiatan itu di Pemkab, timnya di – ping
pong.
Meski pada
akhirnya waktu penyelenggaraan yang dijadwalkan selama 6 hari menjadi nyata,
tapi dengan persiapan yang hanya lima hari membuat gairah kami tak mudah
dipulihkan. Dan karena undangan ditujukan kepada Panitia Gelar Panggung Teater
(GPT) 2010, kami harus menindak-lanjuti undangan Panitia Pasar Senggol itu
kepada seluruh pengisi acara yang ada di Kabupaten Kebumen. Dari tujuh komunitas teater
pengisi acara GPT 2010, hanya dua yang siap pentas yakni Teater Gerak dari
STAINU dan Teater Putra Bangsa (Tetrasa) STIE Putra Bangsa Kebumen. Sebagai
wujud tanggung jawab dan kepedulian, Komunitas Ego mendampingi proses latihan
dan pentas Tetrasa di hari ke 2 penyelenggaraan Semarak Pasar Senggol 2010.
Lega di balik kecewa mendalam. Sambil berjalan pulang kami meneriakkan “selesai sudah masa
janji, selesai sudah tugas menanti “
seperti prajurit pulang dari medan laga. Sekedar melepas penat dari rasa yang
kian menggumpal dari waktu ke waktu.
Sanggar Ilir - Imakta membuka kebuntuan berteater dengan
GPT 2009 dan 2010
harus dijaga dan dilestarikan aset sejarah nih cc: Keboemen
BalasHapus