Mampukah
koperasi menjadi fasilitator pengembangan OVOP di Indonesia? Bisa ya atau tidak.
Jawaban pasti akan banyak bergantung pada masing-masing koperasi yang ditunjuk
oleh Kementrian KUKM dalam menerjemahkan OVOP sehingga aplikasinya tepat
sasaran.
OVOP
di Indonesia
Sejauh
ini, Indonesia belum memiliki konsep dasar OVOP seperti OTOP di Thailand. Berikut adalah tentang OTOP.
Tujuan
OTOP di Thailand:
- Untuk membangun sebuah sistem database yang komprehensif, yang mengakomodasi informasi bagi setiap Tambon di Thailand
- Untuk mempromosikan produk lokal dari setiap Tambon, dan untuk memfasilitasi prosedur jual belinya.
- Untuk membawa teknologi internet ke desa-desa dan ini adalah titik awal dari Proyek Internet Tambon
- Untuk mendorong dan mempromosikan pariwisata di Thailand ke tingkat Tambon. Sehingga pendapatan akan dibagikan lebih besar kepada masyarakat pedesaan.
- Untuk membantu masyarakat pedesaan bertukar informasi, ide, dan meningkatkan komunikasi di berbagai Tambon.
Konsep
OVOP sangat fleksibel dan integratif. Artinya, setiap daerah atau wilayah dapat
menetapkan batasan dan tujuannya. Jika sasaran yang ingin dituju adalah skala
nasional, pendekatan yang digunakan biasanya top-down terutama berkait
dengan penyediaan anggaran. Kelemahan pendekatan ini, semangat kreatif yang
menjadi acuan pokok konsep dasar OVOP bisa tereliminasi oleh proses birokrasi
yang sangat panjang dan acapkali terjadi salah persepsi ketika harus diaplikasikan
kepada kelompok sasaran. Dalam istilah komunikasi, pendekatan top-bottom sering
menimbulkan denging (noise). Apalagi jika pejabat yang berkompeten
menangani di daerah tidak senada dan seirama karena “beda selera” atau
orientasi politik dengan yang di pusat. Lebih kacau lagi jika denging itu
ditambah bisikan yang bernada provokatif.
Sementara
itu, untuk mengaplikasikan konsep OVOP dengan pendekatan bottom up, kendala utama:
kelangkaan inisiatif karena beragam sebab. Yang paling klasik tentu soal
ketersediaan anggaran. Ibarat berdagang, harus ada modal finansial dulu sebelum
melangkah. Inisiatif akan muncul, mengikuti aliran dananya. Dengan kata lain,
jangan berharap ada inisiatif jika anggaran tidak tersedia. Kondisi seperti
inilah yang sering dijumpai ketika ada usulan dari ”bawah”. Belum lagi masalah tumpang tindih kebijakan antara satu dan
lain dinas atau kementrian.
Mengacu
pada gagasan dasar OVOP, produk yang dihasilkan oleh masyarakat memiliki
kedekatan erat dengan budaya lokal dan bernilai tambah tinggi. Kerajinan adalah representatif untuk hal ini. Setidaknya
ada 2 atau dinas yang mungkin “merasa memiliki” yaitu dinas perindustrian/perdagangan,
dinas koperasi dan UKM serta dinas Pariwisata, Budaya dan Ekonomi Kreatif. Bagi
daerah tertentu, mungkin ada penggabungan SKPD (satuan kerja pemerintah daerah)
yang terkait dengan aktivitas produktif dan kreatif masyarakat seperti Kabupaten
Kutai Kertanegara yang menggabungkannya jadi Disperindagkop (Dinas
Perindustrian, Perdagangan, Koperasi & UKM). Semakin banyak dinas atau SKPD
yang merasa berkepentingan dengan dengan pengembangan kegiatan OVOP sebenarnya
semakin baik agar ada upaya maksimal untuk mewujudkannya.
Tetapi,
dalam realita sering berbeda. Setiap SKPD punya kepentingan dan biasanya tidak
mau digabungkan. Eksklusifitas kepentingan inilah jadi satu masalah serius bagi
pengembangan aplikasi OVOP di banyak daerah, termasuk Kabupaten Kebumen. Karena
itu, pada acara Temu Solusi OVOP Jawa Tengah 22 Februari 2013 lalu, Deputi
Bidang Pengkajian Sumber Daya Manusia Kementrian Koperasi dan UKM tidak
menyebut kerajinan anyaman pandan Kebumen sebagai bagian yang telah
diprogramkan pada 2013. Selain carica di Wonosobo dan bordir di Kudus, gula
kelapa di Cilacap, batik Solo, kain sarung goyor di Pemalang dan Klaten, tenun troso
Jepara dan kerajinan ikan pari di Boyolali.
Inilah
yang menjadi satu pertanyaan besar saya dan teman-teman di lapangan, mengapa
ketika dalam peringatan Hari Koperasi 2012 di Kabupaten Kebumen, pemecahan
rekor Muri atas nama Pemerintah Kabupaten Kebumen dibebankan kepada para
perajin anyaman pandan ? Selanjutnya, mengapa aktivitas itu dipindahkan
lokasinya dari area publik (alun-alun Kebumen) ke area pribadi (pabrik Dubexcraft) ?
Pertanyaan paling krusial, mengapa untuk acara seakbar itu para perajin
tidak diapresiasi secara layak ? Apakah hal ini yang jadi penyebab
utama tidak masuknya kerajinan anyaman pandan Kabupaten Kebumen yang telah
membawa Tasikmalaya, Jogja dan Bali menjadi pemasok utama ekspor kerajinan
anyaman pandan ke dalam program OVOP??
Bagaimana
mungkin mengaplikasikan satu program pembangunan yang diadopsi dari negara lain
tanpa pemahaman memadai tentang faktor kultural
masyarakatnya? Jepang diakui sebagai negara maju yang masih kuat menjaga
tradisi dan budaya masyarakatnya. Sebagai
negara yang pernah dijajah Jepang,
sedikit banyak, masyarakat Indonesia memahami kondisi itu sebagai nilai tambah
kemajuan Jepang dibandingkan dengan Eropa maupun Amerika Serikat. Disiplin dan
kerja keras adalah tradisi masyarakat Jepang yang tidak mudah diaplikasikan di
Indonesia. Apalagi di masa sekarang, kebanyakan dari pemimpin formal di semua
lini, tidak menjadikan kedua tradisi itu sebagai pemacu semangat yang menumbuh-kembangkan
tantangan-tantangan kreatif sebagai realisasi prinsip dasar OVOP di bidang
pengembangan sumber daya manusia.
Praktik
yang lazim terjadi justru sebaliknya. Orang-orang yang memelihara prinsip
kemandirian (sama dengan menjaga kemerdekaan) justru tidak disukai oleh para
pengambil keputusan politik (baca sebagai pejabat publik) karena akan mengganggu kepentingan pribadi
atau kelompoknya. Kekusutan ini diperparah dengan pola rekrutmen pejabat publik
yang sarat praktik KKN dan semakin telanjang. Dan lebih kusut lagi karena
semakin jarang ditemui pejabat publik mau bekerja sama dengan orang-orang yang menjaga independensi dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal.
OVOP
adalah program idealistik dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Potensi kreatif masyarakat berbasis kultural dan bernilai tambah tinggi. Penghormatan
atas hal itu adalah pengembangan aktivitas produktif tanpa merusak tradisi yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat lokal. Modernisasi dimungkinkan pada sisi
rancang bangun produk (product design) dengan pendekatan
teknologi informasi. Sebelum hal ini diterapkan, masyarakat lokal harus
dikondisikan dengan nilai-nilai budaya yang terdapat pada teknologi itu.
Sehingga tidak menimbulkan cultural shock yang kemudian akan mematikan potensi
budaya lokal secara sistematik.
Kemudahan
mengakses informasi internet dari telepon selular yang telah menjangkau ke
desa-desa di satu sisi menumbuhkan harapan baru bagi pengembangan potensi lokal.
Di sisi lain, hal itu justru akan menjadi bencana kebudayaan ketika pengguna
tidak memahami nilai-nilai kultural yang ada di dalamnya. Sangat mungkin
terjadi perubahan pola pikir yang semula produktif menjadi konsumtif. Dalam
koteks OVOP, potensi lokal yang seharusnya menjadi titik pijak dan pacu
pengembangan aspek ekonomi dapat berbalik arah menjadi faktor perusak utama
potensi itu. Di sinilah sisi menarik dari konsep aplikasi OVOP di berbagai negara.
Kita (Indonesia) bisa mewujudkan gagasan brilian Mr. Morihiko Hiramatsu dengan sikap hati-hati, tapi tanpa curiga.
Jika Thailand mampu dengan OTOP, suatu saat mungkin kita akan meluncurkan ODOB
(One District One Brand) atau justru sebaliknya, benar-benar jadi bodo
? (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar